Data Pribadi Saya

Nama Pemilik: Ig Fandy Jayanto

Alamat Rumah: Seputih Banyak, Kab. Lampung Tengah


Riwayat Pendidikan:

SD N 1 Sumber Baru
SMP N 1 Seputih Banyak
SMA Paramarta 1 {jurusan Ipa 1}
S1 di UM Metro {jurusan FKIP Matematika}

sedang menempuh pendidikan di Universitas Lampung (Unila)

Pekerjaan:
Guru di SMP Paramarta 1 Seputih Banyak
.........
.........
.........


Minggu, 15 April 2012

STRATEGI BELAJAR MENGAJAR UNTUK PEMBELAJARAN NILAI / AFEKTIF


STRATEGI BELAJAR MENGAJAR UNTUK PEMBELAJARAN NILAI / AFEKTIF

Moto   : “Orang sering berkeinginan melaksanakan apa – apa yang dirasakan dan dipikirkannya baik, namun apa yang diperbuat sering berbeda dengan hal tersebut”
http://navelmangelep.files.wordpress.com/2011/12/guru-word.jpg?w=304&h=232Sebelum membahas mengenai strategi belajar mengajar maka hendaknya kita mengetahui perbedaan antara strategi, metode, teknik, maupun pendekatan. Karena banyak orang bingung untuk membedakannya. Strategi merupakan kumpulan sejumlah metode/cara/pola dalam mencapai/melaksanakan sesuatu atau mengerjakan sesuatu. Sedangan Metode merupakan kumpulan sejumlah teknik, dan Teknik adalah taktik atau cara kerja. Pendekatan (approach) adalah pola/dasar berfikir atau kerangka berfikir dalam menghadapi/ menyelesaikan/mengerjakan sesuatu.  Tentu saja Pendekatan seseorang akan menentukan strateginya, sedangkan metode serta teknik kerja akan ditentukan oleh pilihan strategi orang tersebut.
Pengertian-pengertian ini sangat perlu difahami sebagai tolak ukur kita, dalam membahas pembelajaran nilai/afektif, dan rumusannya sengaja saya sederhanakan sekalipun dalam dunia pendidikan/pembelajaran hal-hal tersebut masih merupakan polemik yang berkepanjangan.
Pada awal tulisan ini saya utarakan sebuah moto. Moto tersebut menunjukkan bahwa sering apa yang dipikirkan dan dirasakan (afeksi) berlainan dengan apa yang kita lakukan. Ini menunjukkan bahwa masalah berbuat/acting merupakan dunia yang terpisahkan dengan dunia yang ada dalam diri seseorang (Metcalf, 1971). Hal ini memang demikian sebab dalam dunia nyata/perbuatan variabel penentunya sangat banyak serta sering di luar kemampuan dan daya kontrol kita. Selanjutnya saya ingin memperingatkan para guru bahwa membina/mendidik/mengajar afektif memerlukan pendekatan dan strategi serta metode khusus dan sering lebih berat daripada pembelajaran kognitif.
Masalah afektif yang bersifat kejiwaan dan berada di dalam diri manusia, sulit dibaca dan diukur. Namun mampu dikaji/dibaca/diramal melalui sejumlah indikator. Karenanya pembelajaran afektifpun hendaknya memanfaatkan media indikator ini untuk dapat menembus hati nurani dan perasaan anak, dan guru harus telaten serta ulet, karena untuk mampu membuka tabir diri anak dan membina keseluruhan kejiwaannya kita harus menggunakan aneka teknik dan metode.
Dalam membaca potret diri seseorang (anak) banyak orang  kuatir kalau apa yang dinampakkan/terbaca itu adalah semu dan berbeda dengan apa yang sebenarya ada dalam diri anak tersebut. Hal ini bisa saja terjadi. Bahkan justru merupakan sifat afektif bahwa apa yang hari ini dianggap baik/benar oleh kita pada kesempatan atau kondisi lain menjadi tidak benar (berubah). Untuk itulah saya ingatkan kembali perlunya membaca aneka indikator yang ditampilkan anak. Demikian halnya dalam membinanya. Hal lain yang saya ingin ingatkan bahwa dalam mengajar afektif/nilai – sebenarya juga dalam pembelajaran lainnya – yang terutama harus mengetahui/menyatakan keadaan sesuatu bukanlah guru melainkan anak itu sendiri. Maka  kita tidak usah paksa/ambisius untuk tahu segalanya melainkan melontarkan upaya/stimulus agar anak dapa menampilkan jati dirinya yang sebenarnya. Boleh saja anak mengatakan “saya belum pernah mencuri”, tetapi melalui stimulus/media yang kita lontarkan dalam pembelajaran anak itu berdialog dan menjawabnya bohong karena sebenarnya pernah mencuri lalu menilainya baik atau tidak perbuatan tersebut serta muncul jawaban dan niat baru. Inilah yang paling penting yang harus muncul pada detik-detik  berlangsungnya pembelajaran afektif  !
Marilah kita kaji sekarang manfaat/tujuan dari Pembelajaran Afektif/Nilai setelah anda membaca uraian pendahuluan tadi. Di bawah ini akan saya cuplikkan sejumlah manfaat Pembelajaran Afektif yang di ramu dari berbagai pendapat (antara lain  :  C M Beck cd/1971 ; Baier, Dewey dan lain-lain).
Bahwa pembelajaran ini sangat perlu karena  :
1.   Mengajak siswa untuk mengklarifikasi dan mengungkap dirinya
2.   Membina, meningkatkan serta mengembangkan masalah afeksi melalui cara yang wajar dan sesuai dengan potensi diri yang bersangkutan.
3.   Membawakan dunia emosional/afeksi dalam pembelajaran serta melatih siswa untuk melakoninya sehingga dapat mengalami sendiri.
4.   Melatih dan membina perbaikan kehidupan/sosial (social and life ajustment).
5.   Membentuk dan mengembangkan sikap – sikap konstruktif positif.
6.   Menanamkan nilai/sistem nilai yang utama/esensial serta melestarikanya.
7.   Membina tata cara pemahaman (understanding) moral dan perilaku seseorang dengan kajian sistem nilai.
8.   Membina kesadaran akan : perlunya nilai/moral, kebaikan tentang sesuatu (a set of..) nilai dan mendorong keinginan untuk menganut serta melaksanakannya.
9.   Pembinaan dan pengembangan kepribadian anak (Personaliti/Ego development).
Dari ungkapan kegunaan dan tujuan di atas jelas kiranya bagi kita terutama para guru bahwa penanaman sikap, moral dan nilai tidak boleh dilaksanakan secara verbalisme melainkan harus meresap pada diri yang bersangkutan.
Dasar–dasar Dan Pendekatan Strategi Pembelajaran :
Adapun dasar dan pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) dewasa ini ialah keharusan untuk memperhatikan dan menerapkan hal – hal sbb :
1.   http://navelmangelep.files.wordpress.com/2011/12/anak-belajar1.jpeg?w=159&h=168Pembelajaran hendaknya bersifat Siswa Sentris (student centered = student based). Dalam pengertian ini maka guru harus mampu membaca/memahami hal ihwal keadaan diri siswa serta selalu memperhatikan keadaan/kesukaran/keberhasilan/kemampuan siswa baik di saat merancang pembelajaran maupun pada waktu PBM berlangsung. Idealnya memang dilaksanakan pola pembelajaran Individual (Individualized Instruction) seperti Pembelajaran Modul (Modular Instruction). Namun dalam pembelajaran klasikalpun hal ini memungkinkan melalui aneka metode/teknik yang memang memberikan kesempatan pada siswa maju/berkembang menurut potensinya masing-masing.
Memahami Siswa berarti kita harus mengkaji  :
1).  Gambaran keadaan siswa itu sendiri yang meliputi  : (a) Potensi pisik dan jiwanya (Pelajar lambat/cepat dan lain-lain), (b) Tingkat perkembangan belajarnya, (c) Pengetahuan siap (entery behavior) yang dimilikinya serta pengalaman belajarnya (learning experiences), (d) Latar belakang sosial ekonomi dan lingkungannya, (e) Karakteristik masyarkatnya (sosial budaya), (f) Minat, kepentingan, masalah dan harapannya, dan (g) Proyeksi yang ditetapkan masyarakat/Pemerintah untuk masa depan yang diharapkan. Kesemua ini akan harus memberikan dampak terhadap Program maupun pilihan metode kita. Oleh karena itu, secara idealnya setiap anak/kelompok/kelas guru harus siap dengan Persiapan pembelajaran yang berlainan.
2).  Hal kedua yang menyangkut diri siswa dan perlu diperhitungkan oleh guru ialah gambaran Kebutuhan Siswa (Learner’s needs) yang diutarakan Malcolm Alfred (1978) yang meliputi 14 kebutuhan siswa selama berperan sebagai Pelajar. Kebutuhan  dimaksud mencakup: (1) Untuk melakukan komuniksi interpersonal (dengan sesama), (2) Untuk mendapatkan dukungan lingkungan fisik yang sesuai (tata ruang/kelas dan lain-lain), (3) Akan bantuan dan pengarahan serta jaminan kesesuaian dari/dengan masyarakatnya, (4) Akan mendapatkan bantuan stimulus/rangsangan guna pemusatan perhatian terhadap pembelajaran, (5) Untuk diperhatikan keadaan/kemampuan pisik dan spiritualnya (rasa lelah, kantuk, jemu dan lain-lain), (6) Akan kesempatan pengembangan intelektualnya (kesempatan berpikir, mengkaji dan lain-lain), (7) Akan adanya kesempatan untuk perumusan konsep-konsep secara mandiri (menangkap arti, membuat kesimpulan dan lain-lain), (8) Untuk mendapatkan kejelasan yang jelas (clarity) tentang pembelajaran baik dari guru maupun uapya sendiri, (9) Akan adanya kesempatan pemahaman konsep/pengetahuan, (10) Untuk mentransfer pengalaman masa lampaunya seperti perbendaharaan pengetahuan atau pengalaman belajarnya, (11) Untuk mendapatkan kesempatan turut aktif berpartisipasi dan mengemukakan sesuatu (to produce), (12) Untuk mendapatkan hadiah-hadiah (pujian, nilai dll), (13) Untuk mendapatkan kesempatan mengekspresikan/ menyam-paikan/menampilkan kreasi dan buah pikirannya, (14) Untuk mengetahui dan merasakan hasil belajar dan kreativitasnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut kiranya kita terutama guru harus selalu waspada dalam menentukan isi dan metode pembelajaran dan semaksimal mungkin kita hindarkan pelanggaran terhadap hal tersebut. Suatu contoh misalnya, adanya murid yang mengantuk memang manusiawi apabila pembelajaran berlangsung siang hari atau setelah olahraga atau bulan puasa. Dan keliru kalau kemudian guru marah-marah terhadap siswa tersebut. Yang harus dimarahi ialah diri guru itu sendiri, mengapa materi dan metodenya tidak mampu membangkitkan gairah semangat belajar sehingga tidak menjadi mengantuk  ? Masih menganai diri siswa ini kiranya tepat kalau saya akhiri dengan peringatan akan sifat siswa sebagai generasi muda yang dalam usia remaja atau usia revolusi (revolution age) atau puber. Dalam usia atau tahapan ini umumnya memiliki sifat  : egois, herois, patriotis, emosional, harga dirinya tinggi dan mudah tersinggung, sifat kejiwaan yang labil, memiliki solidaritas yang kuat terhadap teman/ kelompoknya, sedang mengalami perkembangan pisik,senang akan hal baru dan memiliki keberanian yang sering tanpa perhitungan matang.
2.   Sebagai dasar dari pendekatan PBM yang kedua ialah  diterapkannya  pendekatan Humanistik  :  suatu pola berpikir dan pola kerja yang meminta agar kita  :
a.   Menghargai siswa sebagai manusia yang potensial.
Catatan  :  Paradigma Pendidikan  berdasarkan  paham filasfat  konstruktivisme sekarang cenderung menyatakan bahwa “tidak ada anak yang bodoh”, setiap siswa akan mampu belajar dan berhasil asal diberikan kesempatan dan waktu serta cara sesuai dengan kemampuannya.
Dalil lain sebagai “Guru Inovatif” ialah bahwa setiap anak yang memasuki kelas-untuk belajar sesuatu-tidaklah masuk dalam posisi kosong (nol). Sebab melalui/dari pengalaman belajarnya masa lampau atau entery behaviornya sudah memiliki sejumlah hal (mungkin sudah sekian persen, mungkin pula melebihi guru dan mungkin dalam konsep yang salah atau kurang benar. Untuk itu guru perlu menjajaki hal ini)
b.   Menghargai/melayani siswa secara  :  jujur/fair, adil, objektif, hangat, terbuka dan bebas tanpa paksaan dan tekanan.
c.   Mencipatakan suasana kelas yang  :  akrab/kekeluargaan, menyenangkan, bebas bagi perasaan anak untuk tanpa ragu mengekspresikan emosi dan pendapatnya sehingga ada keterbukaan dan kesiapan/kemauan untuk belajar (bacanya  :  kesiapan menerima/mengkaji sesuatu).
Menurut Pendekatan Humanistik hendaknya  guru menjadi “fasilitator”  karena dialah yang akan mampu membina dan mengembangkan potensi dirinya (diri anak) serasi dan selaras dengan potensi, kemampuan, bakat dan minatnya. Dan bukan sebaliknya PBM atau guru menjadi perusak potensi anak.
3.   Dasar pendekatan ketiga yang harus diserap PBM masa kini ialah asas dan keterlaksanaan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Asas ini merupakan aplikasinya butir kesatu. Dan hanya akan terlaksanakan apabila pilihan metoda dan media pembelajaran sesuai /tepat (dilihat dari tolok ukur  :  Tujuan, materi, waktu, siswa dan lain-lain).
Dalam CBSA kesempatan pengembangan diri siwa dibuka seluas mungkin tetapi sudah dipertimbangkan dan diperhitungkan guru pada saat perancangan pembelajaran. Aneka potensi diri siwa terbuka untuk melakukan dialog/interaksi dengan aneka komponen/faktor. Perhatikan gambar di halaman berikut.
Siswa memiliki kesempatan kebebasan berpartisipasi dan berekspresi serta berkreasi dalam jalur arah yang sesuai dengan thema dan tujuan pembelajaran. Untuk pengarahan dan pembinaan pembelajaran inilah sang guru mutlak harus memainkan perannya sebagai Guru Inkuiri . Peran inilah yang kami maksudkan dengan keharusan pelaksanaan CMGA (Cara Mengajar Guru Aktif), sebab CBSA tidak berarti kemudian guru menganggur dan atau pasif sebagai Ronda Malam saja. Justru guru diharapkan selalau memonitor dan menilai setiap jenis kegiatan/aktivitas siswanya agar dicapai hasil belajar yang optimal melalui proses kegiatan yang kadar aktivitasnya menciptakan hasil pengiring yang berkadar tinggi.
Dalam membina kegiatan/aktivitas siswa ini kiranya patut diingat agar tidak asal terjadi partisipasi/kegiatan siswa belaka, melainkan sudah diperhitungkan untuk membina dan melahirkan kegiatan yang kadar CBSA-nya tinggi. Dan tolok ukur tinggi rendah kadar CBSA ini ialah tingkat taksonomi dari domain yang harus bergetar dalam PBM tersebut. Contoh  :   Membaca adalah KBM yang lebih bersifat Kognitif dengan getaran hanya/lebih banyak pada takosonomi kesatu atau dua saja (memahami/recall/ comprehension). Kadar CBSA ini akan meningkat bila KBM-nya bukan hanya membaca melainkan berdiskusi. Melalui diskusi ini maka sejumlah taksonomi lain yang lebih tinggi akan terbina.
Tolok ukur lainnya ialah luas lingkup komponen yang terlibat dalam dialog (baca  :  proses interaksi) di saat berlangsungnya  PBM (lihat ujung runcing dalam gambar). Makin banyak komponen terlibat maka kadar CBSA makin tinggi serta anak akan makin banyak mendapatkan hasil belajar pengiring disamping makin luas kesempatan keberhasilan dan kemudahan belajarnya. Memang benar bahwa pada pelaksanaan CBSA dalam banyak hal diminta perubahan sikap dan kebiasaan mengajar para guru. Dari sifat sikap dan kegiatan guru yang dominan (berperan utama) harus dibalik siswa yang mendapatkan kesempatan berperan utama. Atau mungkin secara bareng berperan aktif. Dan CBSA jangan dibayangkan bahwa suasana kelas/siswa harus selalu ramai. Sebab aktivitas belajar tidak perlu dan tidak selamanya dalam bentuk gerak pisik, dia dapat berwujud dalam bentuk pisik anak tidak bergerak tetapi terjdi gerak/dialog mental.
Uraian di atas perlu saya sampaikan karena banyak orang beranggapan bahwa kalau CBSA kelas harus gaduh dan sibuk. Ingatlah apa yang diutarakan Piaget tentang belajar. Bahwa dalam banyak hal belajar bersifat “tamasya mental (mental round trip)”.
4.   Dasar pendekatan PBM yang keempat ialah keharusan guru menerapkan asas Multi Metode-Multi Media dan Multi Evaluasi Sistem/Portofolio.
Rasional keharusan hal tersebut ialah karena  :
a.   Kesepakatan kita untuk bersifat siswa sentris di mana potensi kemampuan siswa beraneka ragam (ada pelajar lamban, ada yang cepat, ada yang mampu belajar melalui dengar atau baca dll …. dll). Melalui Multi Metode siswa akan dapat menentukan pilihan cara belajar yang sesuai dengan dirinya.
b.   Rasio kedua, bahwa dalam setiap jam pembelajaran umumnya target atau tujuan pembelajaran (KD,  HB, IHB) tidak tunggal satu domain/ranah/mantra dan tidak tunggal satu taksonomik dari suatu domain. Aneka domain dan taksonomik sering menjadi target hasil belajar. Dan hal ini sesuai dengan hakikat hasil belajar yang baik
Dalam teori tentang metodologi pembelajaran dinyatakan bahwa setiap metode memiliki karakter sendiri. Metoda kognitif ampuh untuk target kognitif dan lemah untuk afektif maupun Psikomotor. Dan ini mendorong sang guru memilih/menentukan dua tiga metoda. Konsekwensi keaneka ragaman target/Kompetensi dan HB dan metode maka penentuan pilihan media pembelajarannyapun harus berbeda. Maka lahirlah tuntutan Multi Media. Dan karena hasil belajar yang akan diukur beraneka ragam dan berlainan domain-taksonomiknya maka di saat dilakukan pengukuran/evaluasi keberhasilan harus menggunakan jenis  dan  bentuk evaluasi yang berbeda pula. Inilah yang dinamakan Multi Evaluasi Sistem. Menilai kemahiran berenang tidak sahih bila hanya dengan kuesioner saja, harus melalui penampilan.
Memang benar bahwa kesulitan utama dalam penentuan suatu/sejumlah metode dan media adalah kriteria dan teknik menentukan yang terbaik atau terampuh. Sebagai persyaratan pokok ialah keharusan guru mengenal dan memahiri sejumlah metoda/ media yang akan dipilih. Adalah tidak mungkin memilih yang terbaik dari sejumlah hal/barang apabila hal/barang tersebut tidak kita kenal jenis per jenisnya.
Dan setelah kita hayati betul metode/media pilihan tesebut maka untuk ketepatan atau keterpercayaan pilihan terbaik kita gunakan metoda/teknik yang kami namakan VCM (Value Contribution Method = Metode kontribusi Nilai). Melalui teknik ini maka untuk setiap methoda yang kita pasang sebagai alternatif pilihan akan mendapatkan skor. Skor mana menunjukkan tinggi rendah nilai kontribusi metoda/media yang bersangkutan terhadap pencapaian tujuan/kompetensi. Dari skor-skor ini akan terbaca mana yang tertinggi. Dua atau tiga metode yang skornya tertinggi kita pilih sebagai metode/media terbaik untuk kita gunakan. Secara sederhana dan umum VCM ini akan kami tampilkan dalam bagian berikut nanti. Bagi para guru senior yang sudah cukup makan garam dan benar-benar sudah akrab dengan aneka jenis metode/teknik/ media maka VCM ini tidak perlu dilakukan secara menjelimet  sebagaimana matrik kami tetapi cukup melalui telaahan dan penilaian asumtif yang berlandaskan pengalaman serta pemahaman terhadap metode/media tersebut serta Tujuannya. Teori VCM ini berguna bagi guru pemula dan untuk penelitian yang eksperimental.
5.   Dasar pendekatan kelima dalam PBM ialah penggunaan kerja/Belajar Kelompok khususnya  dengan  pendekatan  pembelajaran  kooperatif, yang seyogyanya sudah harus banyak dilakukan. Mengapa hal ini saya anjurkan ? Karena disamping terjadi proses saling belajar dan saling mengajar di antara siswa (sharing ideas) kerja kelompok ini merupakan proses sosialisasi yang paling ampuh. Membakukan anak bermasyarakat, bergotong royong serta melatih sejumlah keterampilan akademik dan keterampilan sosial para siswa tersebut.
Dari kelima dasar dan strategi pembelajaran diatas, kiranya kita dapat merefleksikan diri apakah kita terutama guru sudah menerapkan hal ini dalam PBM ? Sudah saatnya kita mereformasi gaya dan karakter mengajar kita, terutama dalam pembelajaran nilai/afektif. Hal ini tidak kalah pentingnya dengan pengembangan kognitif maupun psikomotor. Oleh karena itu hal ini tak boleh dibiarkan begitu saja ataupun dikesampingkan. Kiranya pengembangan pembelajaran berbasis karakter yang mengedepankan konsep nilai yang sementara digalakkan saat ini dapat diterima dan diimplementasikan dengan baik, dan tidak bernasip sama seperti program-program pengembangan pembelajaran yang runtuh dan musnah ketika proyeknya berakhir.
Jayalah Negeriku, Jayalah Bangsaku. Mari Bersatu Majukan Pendidikan Indonesia. _nAVeL_SoNIcZ13
#Diramu dari berbagai sumber#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang Di Blogger Ignasius Fandy Jayanto