BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Pembaharuan Dunia Islam Di Indonesia
Sejarah peradaban atau apapun memang tidak selalu berjalan linear. Bak roda pedati yang sulit sekali pada tiap-tiap bagiannya mengalami keajegan final, kadang naik, kadang turun, kadang berhenti sejenak, dan seterusnya. Sesuatu yang sangat wajar, dan barangkali sudah terlalu biasa didengar. Demikianlah sebuah titah kehidupan yang mau tak mau diemban seorang anak manusia.
Begitupun persoalan pembaharuan dalam Islam, tak disangsikan lagi merupakan sesuatu yang tidak boleh tidak terjadi. Pembaharuan bagi Islam seolah sudah menjadi determinasi sejarah. Ia terus dan akan selalu terjadi, kalaupun tidak, nampaknya memang mesti diadakan. Apalagi bila kata pembaharuan Islam disandingkan dengan hal mana dinamakan kemodernan—yang notabene anak kandung peradaban Barat. Namun, nampaknya pembaharuan dalam Dunia Islam bukan soal diadakan atau tidak. Kalau persoalannya sekadar menjadi diadakannya pembaharuan atau tidak, agaknya membincang pembaharuan boleh dianggap selesai, dan lagi menjadi tidak menarik. Persoalan menjadi lain, manakala diajukan sebuah pertanyaan: bagaimana cara melakukan pembaharuan Islam itu?
Pertanyaan di atas amat krusial, bahkan membuahkan perdebatan yang tidak pernah selesai hingga kini. Banyaknya suara dengan mana pembaharuan Islam dilakukan, makin memperlambat perkembangan religiusitas Umat Islam. Dimana Umat seharusnya sudah melangkah ke tahap lanjutan ketimbang dengan hanya bergulat pada soal religiusitas. Kontestasi antara sikap kembali kepada tradisi, sebagai wujud sikap atas nama kebaruan Islam dengan sikap menerima kemodernan sebagai ‘jalan lurus’ sikap hidup, atau mengakomodasi keduanya, menjadi tema yang berkepanjangan. Karenanya pembaharuan dalam Islam, hingga kini, boleh dibilang baru pada tahap wacana. Kalaupun memunculkan gerakan, hal itu belum secara masif dilakukan. Dalam menyikapi kemodernan, situasi dan kondisi Dunia Islam memang sangat berbeda dengan Barat. Berangkat dari tradisi yang berpijak pada doktrin Jesus “berikan apa yang menjadi hak kaisar pada kaisar, dan yang menjadi hak agama pada agama”. Barat lulus ujian mengatasi polemik pembaharuan keagamaan, meskipun tentu saja tidak kering dari tetesan tinta maupun darah selama berabad-abad lamanya. Sekularisme menjadi ajimat bagi Barat. Persepsi terhadap Isa As. yang dilihat tak lebih hanya sebagai pengemban titah keagamaan dan tidak termasuk pada masalah keduniaan, melepaskan Tuhan dari gerak sejarah. Keuntungannya, Barat tidak terus-menerus berpusar pada persoalan relijiusitas, hal ini sudah dianggap selesai. Preseden ini tidak terdapat dalam Dunia Islam. Muhammad Saw. tidak pernah secara tandas menegaskan, apakah ia pengemban titah keagamaan saja, dan ataukah juga terutus untuk menyelesaikan masalah-masalah keduniaan, dalam artian seluas-luasnya. Yang terlihat justru malah kedua-duanya. Pencitraan Muhammad Saw. seperti ini hampir dianut oleh sebagian besar Umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia. Karena itulah gejala umum yang terjadi dalam Umat Islam, ketika mereka menghadapi situasi modern, masalahnya nyaris sama. Berputar dalam masalah langkah-langkah yang mesti dilakukan dalam melakukan pembaharuan. Sayangnya, sedikit sekali orang yang mau berkubang dalam upaya mencari yang sejati dari apa yang dinamakan pembaharuan Islam.
Pembaharuan Islam di Indonesia dari dahulu hingga kini memang sangat elitis sifatnya. Menempuh cara Barat dalam merengkuh kemodernan barangkali hal paling gampang digulirkan, namun apakah ia akan efektif di tengah basis material Umat yang sedemikian berbedanya dengan Barat. Jangan-jangan upaya untuk itu, hanya akan menjadi cemooh dan tuduhan upaya mendeskreditkan Islam. Karenanya dalam melakukan pembaharuan Islam, seseorang harus rela menyerahkan diri sepenuhnya dalam cita-cita itu, dengan segala resiko apapun yang bakal diterima. Juga harus bersedia memeras tenaga dan pikiran bagi pemecahan soal-soal bagaimana al-Qur’an hendak ditafsirkan, sejauh mana relevansi Hadits menjadi pedoman, dan dalam batas-batas mana nilai-nilai islam maupun sistemnya terwujud di tengah-tengah Umat. Dalam konteks Indonesia, hal ini masih ditambah satu lagi, yaitu perlunya mempertimbangkan kondisi masyarakat yang sedemikian plural, baik agama, etnis, maupun kepercayaan. Inilah realitas masyarakat yang ada. Pada akhirnya, seorang pembaharu Islam di Indonesia, mau tak mau harus memecahkan secara strategis pada persoalan-persoalan sikap Umat Islam terhadap syari’ah. Satu hal inilah yang menjadi pangkal perdebatan hingga kini. Konon hal ini disebabkan Islam di Indonesia sangat kuat menganut paham Sunni. Dimana kemudian, merujuk namanya, cita-cita Islam yang ideal haruslah Islam yang meniti pada tradisi sunnah Nabi, yang pelaksanaanya diupayakan dalam arti kolektivitas (jama’ah). Jadi, lokus perdebatan keharusan melakukan pembaharuan Islam, tidak boleh mengorbankan persatuan dan kesatuan Umat dalam kolektivitas. Kalau yang terjadi kemudian adalah berpotensi memecah Umat, sebaiknya ia tidak diupayakan. Maka, seorang pembaharu, mengalami dua dilema sekaligus: dilema memperturutkan dan memenuhi niat suci perubahan bagi Umat; dan dilema mencari anggitan yang paling dasar bagi upaya pembaharuan, yaitu dukungan Umat.
· Ahmad Wahib
Dari sebagian orang yang mau berkubang dalam lumpur dilema diatas, tersebutlah nama Ahmad Wahib. Konon dari segi penampakan, pria yang dilahirkan pada tanggal 9 Nopember 1942 di kota Sampang, Madura ini, berperawakan kecil. Praktisnya sangat tidak meyakinkan orang, bahwa dalam dirinya terdapat gunung api yang sewaktu-waktu meledak terhadap pembaharuan Islam di Indonesia. Dalam catatan hariannya yang dibukukan, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, bagaimana diungkapkan jalan hidup yang ditempuhnya dalam strategi pembaharuan Islam di Indonesia menghadapi pemetaan Umat diatas. Pada tanggal 10 April 1972, ia menulis sebagai berikut:
Kita kaum pembaharu muslim masih terlalu banyak menoleh kebelakang. Kita masih telalu sibuk melayani serangan-serangan dari orang-orang muslim tradisional. Kalau ini sampai berjalan lama dan menjadi kebiasaan saya kuatir kaum pembaharu akan terlibat dalam apologi bentuk baru, yaitu apologi terhadap ide-ide pembaharuan (yang sudah ada) melawan kaum tradisional. Bila ini sudah terjadi maka terhentilah sebenarnya kerja pembaharuan kita. Umur pembaharuan dikalangan muslim masih terlalu muda. Karena itu saya sangat kuatir bila dia menyibukan diri untuk:
1. menangkis dan menyerang muslim-muslim tradisional dengan faham-fahamnya yang sudah lama tersusun;
2. untuk menyebarkan pikiran-pikirannya yang notabene belum matang, belum lengkap dan jauh dari utuh. Karena itu sebaiknya kaum pembaharu memusatkan diri pada ketekunan pemikiran dan perenungan alam suatu grup kecil untuk mengolah dan mengembangkan konsep-konsep yang ada agar relatif matang, lengkap dan utuh. Kalau ini tidak dilakukan saya kuatir kita akan menjadi budak yang mau maju terus dan malu untuk sewaktu-waktu mundur bila kadang-kadang salah.
Ahmad Wahib memang seakan sudah berjodoh akan menjadi orang ‘besar’ bagi orang-orang yang concern terhadap pembaharuan Islam Indonesia—paling minimal bagi pengagum pikiran-pikiran pembaharuannya. Ada baiknya terlebih dahulu kita lihat siapa sebenarnya ia. Ahmad Wahib terlahir sebagai seorang Muslim yang juga Jawa. Laiknya anak-anak Muslim pada umumnya di Indonesia, ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sangat kental dimensi keagamaannya. Apalagi ayahnya, Pak Sulaiman, merupakan seorang pemimpin sebuah pesantren yang sangat kuat pengaruh dan dikenal luas di kampungnya. Satu hal yang membedakan Wahib dengan anak-anak Indonesia lainnya, selain memiliki nasib baik, ia dididik dalam keluarga agamis, dididik dalam sikap keberagamaan ayahnya yang tebuka dan bebas. Ayahnya memang pengagum setia pemikiran-pemikiran pembaharu Islam asal Mesir, Muhammad Abduh. Sikap terbuka inilah yang memungkinkan Wahib menempuh pendidikan umum, berbeda dengan teman sebayanya yang tidak ada pilihan lain memasuki Madrasah (sekolah agama). Pendidikan umum ini, dijenjanginya sampai tingkat menengah atas. Selepas belajar di SMA Pamekasan, Ahmad Wahib melanjutkan studinya ke Yogyakarta. Di Yogyakarta, ia melanjutkan studi pada Fakultas Ilmu Pasti dan Alam Universitas Gajah Mada (FIPA- UGM), sealur dengan pendidikannya ditingkat atas sebelumnya. Tidak banyak diketahui atas dasar apa kemudian, Wahib lebih memilih tinggal di asrama mahasiswa calon-calon pastur, Asrama Mahasiswa Realino. Dan pada saat yang sama ia putuskan memasuki organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), satu hal yang dalam beberapa segi merupakan bentuk komitmennya yang begitu tinggi terhadap Islam. Seperti dikatakan A.H. Johns, tindakannya memasuki HMI saat itu, merupakan sebuah tindakan berani. Sebab, pada dekade 60-an itu, terjadi polarisasi amat intensif dalam pergumulan politik, antara pihak kubu Soekarno bersama kelompok-kelompok nasionalis radikal dan Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan angkatan bersenjata, dan sayap politik Partai Masyumi yang terlarang, bersama partai-partai kecil lainnya, dipihak lain. Dan pilihan berjuang dalam lembaga Islam merupakan pilihan sulit. Terlebih lagi saat itu Masyumi, yang dianggap ikon pembaharu sekaligus ikon kekuatan Islam menyandang stigma buruk dimata penguasa, sebagai akibat lanjutan carut-marutnya politik sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Masyumi yang kala itu memperjuangkan syari’at Islam (sebagaimana disinggung diatas, pada lahan inilah pembaharuan banyak dilakukan), akhirnya dilikuidasi. Namun dihati Umat, Masyumi masih menjadi harapan tampilnya nuansa Islam dalam penggung nasional. Lewat underbouw-nya lah, seperti HMI, banyak diteruskan cita-cita perjuangan Masyumi. Dari sini Wahib, pada tahap selanjutnya, banyak disibukan untuk memikirkan dan mereka-reka dimanakah posisi ideologis Islam ditengah-tengah beraneka warna ideologis era 60-an. Iklim kondusif Yogyakarta turut pula membentuk dirinya dalam pikiran, sikap maupun perbuatan. Selain aktivismenya yang berkobar-kobar di HMI, ia mencari bahan bakarnya dalam diskusi-diskusi kelompok studi terbatas Limited group. Disinilah bermulai pikiran-pikirannya yang liar namun menggugah. Dalam forum ini pula gambaran bagaimana concern-nya terhadap Islam makin menjadi-jadi. Nilai lebihnya, dalam forum ini pula dimungkinkan pengungkapan segala unek-unek yang dirasakan setiap anggotanya, mulai dari masalah-masalah teologis samapi hal-hal yang bersangkutan dengannya, hal mana tidak lazim bagi kebanyakan Umat Islam saat itu untuk dipertanyakan. Namun, lama kelamaan, Yogyakarta tidak dirasakannya menantang dan memberi inspirasi lagi. Dalam catatan hariannya pada tanggal 5 Juli 1969, ia menulis:
Aku sudah terlalu lama di Yogya. Dia sudah terlalu kering buat suatu inspirasi. Bagiku kota ini tidak inspiratif lagi. Kapankah keinginanku intik menjelajah dunia ini bisa terlaksana? Aku benci homogemitas dan suasana monoton. Aku ingin mencari lingkungan baru yang masih kaya akan inspirasi. Tahun 1971, akhirnya ia mencoba mencari lautan inspirasi di kota bernama Jakarta, dan mulai memikirkan bagaimana merancang masa depannya. Sambil mencari pekerjaan, ia seringkali mengikuti kuliah-kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STFD) dan mengikuti diskusi-diskusi di rumah Dawam Rahardjo, kawan lamanya di HMI cabang Yogyakarta dulu. Masa-masa di Jakarta boleh dibilang masa-masa sulit baginya. Sampai suatu ketika, seorang pengendara motor berkecepatan tinggi menabraknya di persimpangan jalan Senen Raya-Kalilio. Hari itu, tanggal 31 Maret malam tahun 1973, Wahib, seorang calon reporter Majalah Tempo, menghembuskan napasnya yang terakhir.
Manusia Merdeka di Jaman Baru
Kalau saja Wahib tidak menulis catatan harian, dan atau kalaulah Djohan Effendi, teman dekatnya, tidak dapat menemukan catatan-catatan itu, barangkali Wahib tidak akan dikenal sebagai seorang yang amat concern terhadap pembaharuan Islam. Apalagi dengan terbitnya buku catatan harian Wahib, sedikit banyak memiliki gaung gelombang yang resonansinya mengena banyak kalangan anak-anak muda sesudahnya. Seperti dikatakan Walt Whitman, manusia besar selalu lahir dari alam, barangkali lebih tepat lagi pengalaman. Kehidupan Wahib yang seorang muslim, seorang yang berbudaya Jawa, ditambah pergaulannya dengan orang-orang Katolik langsung dari kantong-kantongnya, pergulatan dalam HMI, menjadikannya manusia yang berdaya serap tinggi yang tidak pernah kehilangan dahaga. Pada 6 Oktober 1969, ia menulis:
…Memang aku dahaga. Dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kusajikan tubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhku berkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemen dari segala penjuru. Permainan yang tak akan pernah selesai ini sangat mengasyikan. Dengan belajar dari kehidupan yang ia lambarinya secara langsung, menjadikannya manusia yang siap menampung segala hal, yang dalam bayangan orang lain barangkali tidak mungkin. Bahkan ia sampai pada tekad enggan untuk dikotak-kotakan kedalam golongan tertentu masyarakat. Ia menginginkan orang lain menerimanya dalam arti manusia sesungguhnya. Manusia yang tidak berbeda hanya karena ideologi dan keyakinan yang dinautnya. Pada 9 Oktober 1969, ia menulis:
Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat.Memahami manusia sebagai manusia. Agaknya Wahib sudah sangat bosan mendapati sikap-sikap orang sekelilingnya yang cenderung menilai orang lain bukan karena pribadinya tapi lebih karena kepada apa orang itu berafiliasi. Secara kontekstual, pendirian Wahib ini mendapat relevansinya dengan keadaan politik 60-an yang sangat carut-marut. Berbagai faksi politik saling curiga mencurigai satu dengan lainnya, bahkan sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan.
Masa-masa ini merupakan masa paling bergejolak dalam sejarah Indonesia. Luka psikologis yang dialami Wahib, yang disebabkan oleh kenyataan yang nampak dihadapannya mulai dari krisis ekonomi yang sedemikian parah, intrik politik yang melahirkan kup oleh PKI pada 1965, pembantaian atas orang yang dituduh sebagai PKI setelah gagalnya kup tersebut, mengajarkannya banyak hal, yang mendorong segenap energinya untuk berbuat sesuatu untuk bangsanya. Dan yang paling dekat ialah pembaharuan pemahaman terhadap Islam. Pemuda yang hidup masa sebaya Wahib, seperti diutarakan oleh penggerak pembaharuan lain, Soe Hok Gie, merupakan manusia-manusia baru. Bahkan, barangkali generasi baru, atau lapisan baru seperti termuat dalam pengantar redaksi Kompas pada Agustus 1969, yang dikutip oleh Daniel Dhakidae: Tanpa kita sadari di bumi Indonesia kini telah tumbuh suatu lapisan baru, pemuda-pemuda, pemudi-pemudi Indonesia yang dilahirkan setelah tahun 1945__generasi kemerdekaan Indonesia.
Generasi-generasi baru ini, seperti diungkap Daniel Dhakidae, adalah:
Mereka bukan orang yang takjub melihat kaki langit baru, yang terkagum-kagum kepada Barat model Sutan Takdir Ali Sjahbana; mereka bukan “pemuda bambu runcing”; mereka adalah generasi yang dididik dalam optimisme setelah penyerahan kedaulatan, dalam mitos-mitos tentang kemerdekaan dan harapan besar terhadap “kejayaan Indonesia di masa depan”; mereka dalah generasi yang dibius oleh semangat “progresif revolusioner” model Soekarno; tetapi terutama generasi inilah yang mengalami kehancuran cita-cita itu semuanya, demoralisasi dalam segala bidang, kehancuran kepercayaan kepada generasi-generasi yang terdahulu. Kenyataan pahit yang terjadi terhadap bangsanya sendiri barangkali hal biasa. Masa kemerdekaan, kenyataan tersebut boleh dibilang santapan dari hari ke hari. Namun tragisnya, kesengsaraan dan kepedihan itu bukan disebabkan oleh bangsa lain, tapi oleh anak-anak bangsa yang dulu berjuang untuk rakyat. Tunas idealisme yang dulu ditanamkan kepada kalangan muda ditanggalkan pada saat belum lagi kokoh menghujam ke langit. Wahib merupakan salah seorang dari berjuta pemuda Indonesia yang mengalami ‘pengkhinatan’ dari elite bangsanya sendiri. Pernah suatu ketika, dalam catatan hariannya pasa 6 Juni 1969, ia berujar: Aku tidak mengerti keadaan di Indonesia ini. Ada orang yang sudah sepuluh tahun jadi tukang becak. Tidak meningkat-ningkat. Seorang tukang cukur bercerita bahwa dia sudah 20 tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilannya hampir tetap saja. Bagaimana ini?
Pada 20 Pebruari 1970, Wahib menulis:
Pada saat ini terlihat bahwa seluruh sikap-sikap mental mengalami degradasi di Indonesia, termasuk sikap mental bertanggung jawab. Beberapa orang yang pada mulanya kelihatan sangat potent untuk berwatak penuh tanggung jawab, ternyata menjadi pelempar tanggung jawab. Ada suatu bahaya bahwa masyarakat Indonesia akan menjadi society of responsibility shifters. Karena itu dari kalangan anak-anak muda di samping orang-orang tua, haros tampil beberapa orang yang berani melawan arus ini dan menegakan suatu masyarakat yang bertanggung jawab. Sikap berdiam diri jelas bukan prototype Wahib. Sebagaimana maklum, ia akhirnya memasuki HMI sebagai wahana perjuangannya. Namun begitu, ia masih sangat menaruh harapan besar terhadap insan-insan kreatif yang tidak kenal lelah untuk membangun cita-cita. Romantisme terhadap apapun hanya akan menjadi apologia. Dan sikap apologia inilah sebenarnya yang menjadikan bangsa Indonesia, dimana Umat Islam bagian terbesarnya, terlalu depensif dalam hidup. Umat Islam hanya bisa sebatas reaksi ketimbang melakukan aksi. Karena itu menjadi manusia yang merdeka, otonom, harus menjadi cita-cita dan segera diwujudkan dalam alam pembaharuan. Untuk itu Wahib, menulis pada 16 Agustus 1970, sebagai berikut:
Cara bersikap kita terhadap ajaran Islam, Qur’an dan lain-lain sebagaimana terhadap Pancasila harus berubah, yaitu dari sikap sebagai insan otoriter menjadi sikap insan merdeka, yaitu insan yang produktif, analitis dan kreatif.
Cinta Platonik
Seringkali dalam kehidupan, kita dihadapkan pada banyak hal yang tak terduga, dari semula yang begitu matang direncanakan. Sosok Wahib yang sangat sederhana, barangkali bersahaja, sama halnya dengan cara pandang hidupnya. Wahib bukanlah seseorang yang selalu mesti menetapkan dirinya berpikiran hal-hal yang besar. Ia sepenuhnya sadar akan begitu lemah kemampuan komunikasinya dengan orang lain. Ini menjadi ciri tersendiri buatnya. Wahib sampai suatu ketika juga sepenuhnya insaf bahwa selama ini hanya banyak berolah rasa dengan dirinya sendiri, hal mana menjadi titik kelemahan yang diakuinya sedikit banyak menghambat kemajuan dalam pendekatan ide-idenya. Kelemahannya ini membuat Wahib tidak pernah menemukan cinta sesungguhnya pada seorang wanita khusus, seolah ada saja ketakutan yang serba nir alasan. Pada tahap tertentu, ketakutan itu terjadi lebih karena umurnya yang sudah cukup dewasa, namun belum ada kejelasan untuk memiliki teman hidup. Sehingga, ketakutan-krtakutannya itu kerap mewujud dalam mimpi-mimpinya. Tulis Wahib pada tanggal 26 Maret 1969:
Aku terbangun oleh mimpi yang mengerikan setelah 4 jam tidur malam ini. Masih jam 2.15. Aku kesal menunggu pagi. Aku teringat pada...yang mengembalikan aku pada kenangan masa kanak-kanak di mana aku baru mengenal cinta dari buku-buku komik dan roman murahan. Oh, aku teringat pada rambutnya yang mayang mengurai, warna keputih-putihan pada pipinya dan tubuhnya yang tidak begitu langsing. Aku teringat bagaimana dia bermain-main dihalaman rumahku. Aku tak tahu lagi di mana dia sekarang. Ah, romantisitas sekali menoleh masa lalu. Adakah ini tanda-tanda bahwa aku telah apologetik dalam erotik? Apologetik yang kubenci? Tidak, aku tak mau apologi. Aku akan berjuan keras menghadapi masa kini dan nantiku. Cinta yang sebatas pergulatan dalam “ideation” itulah yang nampaknya mengungkungi Wahib, tidak hanya pada ketika ia mencintai lawan jenisnya saja. Pada banyak hal pun ia mengalami itu. Bagaimana misalnya kecintaannya pada HMI. Keinginannya untuk melakukan pembaharuan di tubuh HMI, akhirnya hanya menjadi angan-angan yang tak pernah kesampaian. Eksodusnya Wahib dari HMI, pasti bukan karena ia sudah tidak kerasan di dalamnya. Lebih dari apapun kecintaanya pada HMI tidak pernah luntur. Sayangnya, seperti kepahitan hidup yang kerap dirasakannya, ia harus menghadapi situasi yang serba dilematis antara mempertahankan idealisme, keterbukaan, kebebasan, dengan berdiam diri ditengah-tengah ketidak wajaran yang terjadi di lingkungannya sendiri. Wahib memendam penyesalan yang dalam, sebab ikrar cinta sucinya bersama HMI dihalangi dan tidak diberi ruang pemuasannya. Dalam pada itu, dia menulis dalam bentuk aforisme pada 14 Agustus 1969:
HMI bukan sekedar alat
yang bisa diganti dengan lain alat
HMI bukan sekadar saluran
yang bisa ditukar bergantian
terasa...HMI telah menjadi nyawa kita
HMI telah ada dalam urat dan nadi kita
dia ada dalam keriangan kita
dia ada dalam kesusahan kita
dia ada dalam kecabulan kita
dia ada dalam ke kanak-kanakan kita
HMI telah menghisap dan mengisi jaluran-jaluran darah kita
walaupun begitu perpidahan ini kita lakukan juga
kita tidak boleh tercekam oleh emosi
yang akan membuat kita terus termangu,
keragu-raguan dalam perpisahan
relakanlah segalanya
buat yang masih tinggal
Dalam keadaan seperti ini Wahib sepertinya merasakan kesepian amat dalam, bahkan kadang merasa pula keadaan frustasi akan kepahitan hidup. Namun bukan sikapnya pula ia pantang menyerah. Satu hal yang amat disesalinya ialah bila orang lain menanggung hasil-hasil perbuatannya yang berdampak negatif, tidak lebih dari itu ia selalu menghadapi kepahitan dengan selalu tersenyum. Yang paling dikhawatirkan Wahib mengenai kepahitan hidup yang silih berganti mendera, adalah kehilangan pembacaan onjektif terhadap gejala sosial yang masih tetap dipegangnya. Oleh sebab itu, ia mencari pemecahan lain yang bertujuan menjaga tingkat objektivitas pandangannya sekaligus mempertajam analisa pemahamnnya. Ia tuliskan hal ini pada 20 April 1970, demikian:
Dengan membaca aku melepaskan diri dari kenyataan yaitu kepahitan hidup. Tanpa membaca aku tenggelam sedih. Tapi sebentar lagi akan datang saatnya dimana aku tidak bisa lagi lari dari kenyataan. Kenyataan yang pahit tidak bisa dihindari teris-menerus berhubung dualitas diri yaitu jasmani dan roahani. Sebentar lagi kenyataan akan menangkapku dan aku belum tahu bagaimana saat itu harus kuhadapi.
Saat itu adalah saat yang paling pahit.
Pengertian pembaharuan islam
Kata yang lebih di kenal untuk pembaharuan adalah modernisasi. Kata modernisasi lahir dari dunia barat, adanya sejak terkait dengan masalah agama. Dalam masyarakat barat kata modernisasi mengandung pengertian pemikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya. Agar emua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.
Pembaharuan Islam adalah upaya untuk menyesuiakan paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan terknologi odern. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam ukan berarti mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya. Sesuai dengan perkembangannya zaman, hal ini dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecendrunagan, pengetahuan, situasional, dan sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang mungkin masih banyak yang relevan dan madih dapat digunakan, tetapi mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi.
Kata tajdid sendiri secara bahasa berarti “mengembalikan sesuatu kepada kondisinya yang seharusnya”. Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Atau dengan ungkapan yang lebih jelas, Thahir ibn ‘Asyur mengatakan,
Pembaharuan agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi kehidupan manusia di dunia. Baik dari sisi pemikiran agamisnya dengan upaya mengembalikan pemahaman yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dari sisi pengamalan agamisnya dengan mereformasi amalan-amalannya, dan juga dari sisi upaya menguatkan kekuasaan agama.
Pengertian ini menunjukkan bahwa sesuatu yang akan mengalami proses tajdid adalah sesuatu yang memang telah memiliki wujud dan dasar yang riil dan jelas. Sebab jika tidak, ke arah mana tajdid itu akan dilakukan? Sesuatu yang pada dasarnya memang adalah ajaran yang batil –dan semakin lama semakin batil-, akan ditajdid menjadi apa? Itulah sebabnya, hanya Syariat Islam satu-satunya syariat samawiyah yang mungkin mengalami tajdid. Sebabnya dasar pijakannya masih terjaga dengan sangat jelas hingga saat ini, dan dapat dipertanggungjawabkan. Adapun Syariat agama Yahudi atau Kristen –misalnya-, keduanya tidak mungkin mengalami tajdid, sebab pijakan yang sesungguhnya sudah tidak ada. Yang ada hanyalah “apa yang disangka” sebagai pijakan, padahal bukan. Tidak mengherankan jika kemudian aliran Prostestan menerima “kemenangan” akal dan sains atas agama, sebab gereja pada mulanya tidak menerimanya, sebab teks-teks Injil tidak memungkinkan untuk itu. Dan yang seperti sama sekali tidak dapat disebut sebagai tajdid.
Dalam Islam sendiri, seputar ide tajdid ini, Rasulullah saw. sendiri telah menegaskan dalam haditsnya tentang kemungkinan itu. Beliau mengatakan, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk ummat ini pada setiap pengujung seratus tahun orang yang akan melakukan tajdid (pembaharuan) terhadap agamanya.” (HR. Abu Dawud , no. 3740).
Tajdid yang dimaksud oleh Rasulullah saw di sini tentu bukanlah mengganti atau mengubah agama, akan tetapi –seperti dijelaskan oleh Abbas Husni Muhammad maksudnya adalah mengembalikannya seperti sediakala dan memurnikannya dari berbagai kebatilan yang menempel padanya disebabkan hawa nafsu manusia sepanjang zaman. Terma “mengembalikan agama seperti sediakala” tidaklah berarti bahwa seorang pelaku tajdid (mujaddid) hidup menjauh dari zamannya sendiri, tetapi maknanya adalah memberikan jawaban kepada era kontemporer sesuai dengan Syariat Allah Ta’ala setelah ia dimurnikan dari kebatilan yang ditambahkan oleh tangan jahat manusia ke dalamnya. Itulah sebabnya, di saat yang sama, upaya tajdid secara otomatis digencarkan untuk menjawab hal-hal yang mustahdatsat (persoalan-persoalan baru) yang kontemporer. Dan untuk itu, upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan segala upaya mengoreksi nash-nash syar’i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks syar’i dengan metode yang menyelisihi ijma’ ulama Islam. Sama sekali bukan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tajdid dalam Islam mempunyai 2 bentuk:
Pertama, memurnikan agama -setelah perjalanannya berabad-abad lamanya- dari hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Konsekuensinya tentu saja adalah kembali kepada bagaimana Rasulullah saw dan para sahabatnya mengejawantahkan Islam dalam keseharian mereka.
Kedua, memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul dan berbeda dari satu zaman dengan zaman yang lain. Meski harus diingat, bahwa “memberikan jawaban” sama sekali tidak identik dengan membolehkan atau menghalalkannya. Intinya adalah bahwa Islam mempunyai jawaban terhadap hal itu. Berdasarkan ini pula, maka kita dapat memahami bahwa bidang-bidang tajdid itu mencakup seluruh bagian ajaran Islam. Tidak hanya fikih, namun juga aqidah, akhlaq dan yang lainnya. Tajdid dapat saja dilakukan terhadap aqidah, jika aqidah ummat telah mengalami pergeseran dari yang seharusnya.
Banyak sekali peristilahan yang digunakan para pe-nulis yang dalam bahasa Indonesia berkonotasi pemba-haruan, umpamanya tajdid, ishlah, reformasi, ‘ashriyah, modernisasi, revivalisasi, resurgensi (resurgence), reassersi (reassertion), renaisans, dan fundamentalis. Peristilahan se-perti ini timbul, bukan sekedar perbedaan semantik bela-ka, akan tetapi dilihat dari isi pembaharuan itu sendiri.
Pembaharuan Islam adalah upaya untuk menyesuiakan paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan terknologi odern. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam ukan berarti mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya. Sesuai dengan perkembangannya zaman, hal ini dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecendrunagan, pengetahuan, situasional, dan sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang mungkin masih banyak yang relevan dan madih dapat digunakan, tetapi mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi.
Kata tajdid sendiri secara bahasa berarti “mengembalikan sesuatu kepada kondisinya yang seharusnya”. Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Atau dengan ungkapan yang lebih jelas, Thahir ibn ‘Asyur mengatakan,
Pembaharuan agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi kehidupan manusia di dunia. Baik dari sisi pemikiran agamisnya dengan upaya mengembalikan pemahaman yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dari sisi pengamalan agamisnya dengan mereformasi amalan-amalannya, dan juga dari sisi upaya menguatkan kekuasaan agama.
Pengertian ini menunjukkan bahwa sesuatu yang akan mengalami proses tajdid adalah sesuatu yang memang telah memiliki wujud dan dasar yang riil dan jelas. Sebab jika tidak, ke arah mana tajdid itu akan dilakukan? Sesuatu yang pada dasarnya memang adalah ajaran yang batil –dan semakin lama semakin batil-, akan ditajdid menjadi apa? Itulah sebabnya, hanya Syariat Islam satu-satunya syariat samawiyah yang mungkin mengalami tajdid. Sebabnya dasar pijakannya masih terjaga dengan sangat jelas hingga saat ini, dan dapat dipertanggungjawabkan. Adapun Syariat agama Yahudi atau Kristen –misalnya-, keduanya tidak mungkin mengalami tajdid, sebab pijakan yang sesungguhnya sudah tidak ada. Yang ada hanyalah “apa yang disangka” sebagai pijakan, padahal bukan. Tidak mengherankan jika kemudian aliran Prostestan menerima “kemenangan” akal dan sains atas agama, sebab gereja pada mulanya tidak menerimanya, sebab teks-teks Injil tidak memungkinkan untuk itu. Dan yang seperti sama sekali tidak dapat disebut sebagai tajdid.
Dalam Islam sendiri, seputar ide tajdid ini, Rasulullah saw. sendiri telah menegaskan dalam haditsnya tentang kemungkinan itu. Beliau mengatakan, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk ummat ini pada setiap pengujung seratus tahun orang yang akan melakukan tajdid (pembaharuan) terhadap agamanya.” (HR. Abu Dawud , no. 3740).
Tajdid yang dimaksud oleh Rasulullah saw di sini tentu bukanlah mengganti atau mengubah agama, akan tetapi –seperti dijelaskan oleh Abbas Husni Muhammad maksudnya adalah mengembalikannya seperti sediakala dan memurnikannya dari berbagai kebatilan yang menempel padanya disebabkan hawa nafsu manusia sepanjang zaman. Terma “mengembalikan agama seperti sediakala” tidaklah berarti bahwa seorang pelaku tajdid (mujaddid) hidup menjauh dari zamannya sendiri, tetapi maknanya adalah memberikan jawaban kepada era kontemporer sesuai dengan Syariat Allah Ta’ala setelah ia dimurnikan dari kebatilan yang ditambahkan oleh tangan jahat manusia ke dalamnya. Itulah sebabnya, di saat yang sama, upaya tajdid secara otomatis digencarkan untuk menjawab hal-hal yang mustahdatsat (persoalan-persoalan baru) yang kontemporer. Dan untuk itu, upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan segala upaya mengoreksi nash-nash syar’i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks syar’i dengan metode yang menyelisihi ijma’ ulama Islam. Sama sekali bukan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tajdid dalam Islam mempunyai 2 bentuk:
Pertama, memurnikan agama -setelah perjalanannya berabad-abad lamanya- dari hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Konsekuensinya tentu saja adalah kembali kepada bagaimana Rasulullah saw dan para sahabatnya mengejawantahkan Islam dalam keseharian mereka.
Kedua, memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul dan berbeda dari satu zaman dengan zaman yang lain. Meski harus diingat, bahwa “memberikan jawaban” sama sekali tidak identik dengan membolehkan atau menghalalkannya. Intinya adalah bahwa Islam mempunyai jawaban terhadap hal itu. Berdasarkan ini pula, maka kita dapat memahami bahwa bidang-bidang tajdid itu mencakup seluruh bagian ajaran Islam. Tidak hanya fikih, namun juga aqidah, akhlaq dan yang lainnya. Tajdid dapat saja dilakukan terhadap aqidah, jika aqidah ummat telah mengalami pergeseran dari yang seharusnya.
Banyak sekali peristilahan yang digunakan para pe-nulis yang dalam bahasa Indonesia berkonotasi pemba-haruan, umpamanya tajdid, ishlah, reformasi, ‘ashriyah, modernisasi, revivalisasi, resurgensi (resurgence), reassersi (reassertion), renaisans, dan fundamentalis. Peristilahan se-perti ini timbul, bukan sekedar perbedaan semantik bela-ka, akan tetapi dilihat dari isi pembaharuan itu sendiri.
1. Tajdid, Ishlah, dan Reformasi
Tajdid sering diartikan sebagai ishlah dan reformasi; karena itu, gerakannya disebut gerakan tajdid, gerakan ishlah, dan gerakan reformasi. Tajdid menurut bahasa al-i’adah wa al-ihya’ , mengembalikan dan menghidupkan. Tajdid al-din, berarti mengembalikannya kepada apa yang pernah ada pada masa salaf, generasi muslim awal. Tajdid al-Din menurut istilah ialah menghidupkan dan membangkitkan ilmu dan amal yang telah diterangkan oleh al-Quran dan al-Sunnah . Ulama salaf memberikan ta’rif tajdid sebagai berikut : Menerangkan/membersih-kan Sunnah dari bid’ah memperbanyak ilmu dan memu-liakannya, membenci bid’ah dan menghilangkannya” . Selanjutnya tajdid dikatakan sebagai penyebaran ilmu, meletakkan pemecahan secara Islami terhadap setiap problem yang muncul dalam kehidupan manusia, dan menentang segala yang bid’ah. Tajdid tersebut di atas dapat pula diartikan sebagaimana dikatakan oleh ulama salaf menghidupkan kembali ajaran salaf al-shaleh, meme-lihara nash-nash, dan meletakkan kaidah-kaidah yang disusun untuknya serta meletakkan metode yang benar untuk memahami nash tersebut dalam mengambil mak-na yang benar yang sudah diberikan oleh ulama.
Dari definisi di atas nampak, bahwa tajdid tersebut mendorong umat Islam agar kembali kepada al-Quran dan sunnah serta mengembangkan ijtihad. Inilah makna tajdid yang dianut oleh kaum puritan yang selama ini suaranya masih bergema. Tajdid seperti ini pula yang di-katakan sebagai ishlah atau reformasi dalam Islam. Refor-masi itu sendiri, berdasarkan sejarahnya, muncul akibat modernisasi muncul sebagai reaksi atas reformasi. Reformasi adalah vis a vis modernisasi. Reformasi sebagai akibat adanya penyimpangan agama dan teologi yang disebabkan oleh adanya sekularisme modern (reformation as a religious and theological and the cauce of modern secularism).
Dari definisi di atas nampak, bahwa tajdid tersebut mendorong umat Islam agar kembali kepada al-Quran dan sunnah serta mengembangkan ijtihad. Inilah makna tajdid yang dianut oleh kaum puritan yang selama ini suaranya masih bergema. Tajdid seperti ini pula yang di-katakan sebagai ishlah atau reformasi dalam Islam. Refor-masi itu sendiri, berdasarkan sejarahnya, muncul akibat modernisasi muncul sebagai reaksi atas reformasi. Reformasi adalah vis a vis modernisasi. Reformasi sebagai akibat adanya penyimpangan agama dan teologi yang disebabkan oleh adanya sekularisme modern (reformation as a religious and theological and the cauce of modern secularism).
2. ‘Ashriyah dan Modernisasi
Istilah modernisasi atau ashriyah (Arab) diberikan oleh kaum Orientalis terhadap gerakan Islam tersebut di atas tanpa membedakan isi gerakan itu sendiri. Modernisasi, dalam masyarakat Barat, mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagai-nya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditim-bulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Tatkala umat Islam kontak dengan Barat, maka modernisasi dari Barat membawa kepada ide-ide baru ke dunia Islam, seperti rasionalisme, nasionalisme, demok-rasi, dan lain sebagainya.
Penyesuaian ajaran seperti di atas disebut modern karena dalam sejarahnya agama Katholik dan Protestan dahulu diajak menyesuaikan diri dengan ilmu pengeta-huan dan falsafat modern. Sayangnya, modernisaai di Barat ini akhirnya membawa kepada sekularisasi. Jika seandainya demikian ternyata perkataan modern tidak sedikit dampaknya dan bahayanya dalam pemahaman agama, seandainya tidak ada filter-filter tertentu untuk menyaringnya sebagaimana terjadi di dunia Barat tadi. Itulah sebabnya barangkali Harun Nasution tidak begitu sreg menggunakan kata modern sebagai gantinya dipilih kata pembaharuan.
Penyesuaian ajaran seperti di atas disebut modern karena dalam sejarahnya agama Katholik dan Protestan dahulu diajak menyesuaikan diri dengan ilmu pengeta-huan dan falsafat modern. Sayangnya, modernisaai di Barat ini akhirnya membawa kepada sekularisasi. Jika seandainya demikian ternyata perkataan modern tidak sedikit dampaknya dan bahayanya dalam pemahaman agama, seandainya tidak ada filter-filter tertentu untuk menyaringnya sebagaimana terjadi di dunia Barat tadi. Itulah sebabnya barangkali Harun Nasution tidak begitu sreg menggunakan kata modern sebagai gantinya dipilih kata pembaharuan.
3. Revivalisasi, Resurgensi, Renaisans, Reasersi
Kesemua peristilahan di atas mengandung arti te-gak kembali atau bangkit kembali. Peristilahan revivali-sasi, pada dasarnya, banyak sekali digunakan oleh para penulis. Fazlurrahman, misalnya, menggunakan istilah ini, bahkan ia membaginya kepada dua bagian yaitu revivalis pra-modernis dan revivalis neo modernis.
Penulis lain mengungkapkan kebangkitan kembali dengan kata resurgence. Chandra Muzaffar yang menge-mukakan istilah ini dalam tulisannya Resurgence A. Global Vew menyatakan bahwa adanya perbedaan antara istilah revivalis dengan resurgence. Resurgence, adalah tindakan bangkit kembali yang di dalamnya mengandung unsur :
1. kebangkitan yang datang dari dalam Islam sendiri dan Islam dianggap penting karena dianggap mendapatkan kembali prestisenya;
2. ia kembali kepada masa jayanya yang lalu yang pernah terjadi sebelumnya;
3. bangkit kem¬bali untuk menghadapi tantangan, bahkan ancaman dari mereka yang berpengalam-an lain.
Revivalisme juga berati bangkit kembali, tetapi kem-bali ke masa lampau, bahkan berkeinginan untuk meng-hidupkan kembali yang sudah usang. Renaisans, jika ha-nya diartikan secara umum nampaknya membangkitkan kembali ke masa-masa yang sudah ketinggalan zaman, bahkan ada konotasi menghidupkan kembali masa jahi-liyah, sebagaimana renaisans di Eropa yang berarti meng-hidupkan kembali peradaban Yunani. Jika istilah ini ter-paksa digunakan, maka Renaisans Islam harus berarti tajdid .
Karena itu, barangkali mengapa banyak para penu-lis menggunakan Renaisans dalam menerangkan tajdid atau Pembaharuan dalam Islam. Fazlurrahman, misalnya dalam bukunya Islam : Challenges and Opportunities, me-nulis tentang Renaisans Islam : Neo Modernis. Istilah ini-pun digunakan pula oleh editor buku A History of Islamic Phllisophy, M.M. Sharif, tatkala rnenerang¬kan tokoh-to-koh pembaharuan dunia Islam, seperti Muhammad ibn Abd al-Wahab, Muhammad Abduh dan lainnya di ba-wah judul Modern Renaissans. Sementara
Penulis lain mengungkapkan kebangkitan kembali dengan kata resurgence. Chandra Muzaffar yang menge-mukakan istilah ini dalam tulisannya Resurgence A. Global Vew menyatakan bahwa adanya perbedaan antara istilah revivalis dengan resurgence. Resurgence, adalah tindakan bangkit kembali yang di dalamnya mengandung unsur :
1. kebangkitan yang datang dari dalam Islam sendiri dan Islam dianggap penting karena dianggap mendapatkan kembali prestisenya;
2. ia kembali kepada masa jayanya yang lalu yang pernah terjadi sebelumnya;
3. bangkit kem¬bali untuk menghadapi tantangan, bahkan ancaman dari mereka yang berpengalam-an lain.
Revivalisme juga berati bangkit kembali, tetapi kem-bali ke masa lampau, bahkan berkeinginan untuk meng-hidupkan kembali yang sudah usang. Renaisans, jika ha-nya diartikan secara umum nampaknya membangkitkan kembali ke masa-masa yang sudah ketinggalan zaman, bahkan ada konotasi menghidupkan kembali masa jahi-liyah, sebagaimana renaisans di Eropa yang berarti meng-hidupkan kembali peradaban Yunani. Jika istilah ini ter-paksa digunakan, maka Renaisans Islam harus berarti tajdid .
Karena itu, barangkali mengapa banyak para penu-lis menggunakan Renaisans dalam menerangkan tajdid atau Pembaharuan dalam Islam. Fazlurrahman, misalnya dalam bukunya Islam : Challenges and Opportunities, me-nulis tentang Renaisans Islam : Neo Modernis. Istilah ini-pun digunakan pula oleh editor buku A History of Islamic Phllisophy, M.M. Sharif, tatkala rnenerang¬kan tokoh-to-koh pembaharuan dunia Islam, seperti Muhammad ibn Abd al-Wahab, Muhammad Abduh dan lainnya di ba-wah judul Modern Renaissans. Sementara
itu reassertion berarti tegak kembali tetapi tidak mengandung tan-tangan terhadap masalah sosial yang ada.
Demikianlah istilah tajdid, pembaharuan, yaitu dike-mukakan oleh para ahli, mereka bukan hanya sekedar berbeda pendapat dalam hal istilah yang digunakan, akan tetapi dalam makna dan isi pembaharuan itu sen-diri. Itulah sebabnya orang sering mengatakan bahwa istilah Pembahruan dalam Islam masih merupakan kon-troversi yang mengandung kebenaran. Dan itu pula sebabnya mengapa Harun Nasution tidak banyak meng-gunakan peristilahan yang banyak itu, kecuali menggu-nakan istilah pembaharuan, modern dan tajdid sewaktu-waktu. Karena, yang penting adalah isi dan tujuan dari pembaharuan itu sendiri kembali kepada ajaran-ajaran dasar dan memelihara ijtihad. Pengertian Istilah
1. Harun Nasution cendrung menganalogikan istilah “pembaharuan” dengan “modernisme”, karena istilah terakhir ini dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha mengubah paham-paham, adt-istiadat, institusi lama, dan sebagainya unutk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Gagasan ini muncul di Barat dengan tujuan menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katolik dan Protestan dengan ilmu pengetahuna modern. Karena konotasi dan perkembangan yang seperti itu, harun Nasution keberatan menggunakan istilah modernisasi Islam dalam pengertian di atas.
2. Revivalisasi. Menurut paham ini, “pembaharuan adalah “membangkitkan” kembali Islam yang “murni” sebagaimana pernah dipraktekkan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan kaum Salaf.
2. Revivalisasi. Menurut paham ini, “pembaharuan adalah “membangkitkan” kembali Islam yang “murni” sebagaimana pernah dipraktekkan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan kaum Salaf.
3. Kebangkitan Kembali ( Resugence ) Dalam kamus Oxford, resurgence didefinisikan sebagai “kegiatan yang muncul kembali” (the act of rising again ). Pengertian ini mengandung 3 hal :
a. Suatu pandangan dari dalam, suatu cara dalam mana kaum muslimim melihat bertambahnya dampak agama diantara para penganutnya. Islam menjadi penting kembali. Dalam artian, memperoleh kembali prestise dankehormatan dirinya.
b. “Kebangkitan kembali” menunjukkan bahwa keadaaan tersebut telah terjadi sebelumnya. Jejak hidup nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam dan para pengikutnya memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran orang-orang yang menaruh perhatian pada jalan hidup Islam saat ini.
c. Kebangkitan kembali sebagai suatu konsep, mengandung paham tentang suatu tantangan, bahkan suatu ancaman terhadap pengikut pandangan-pandangan lain.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam terutama sesudah pembukaan abad ke-19 M, yang dalam sejarah Islam di pandang sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan dunia barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti Rasionalisme, Nasionalisme, Demokrasi, dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru dan pemimpin-pemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan itu.
Sebagaimana halnya di barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Dengan jalan demikian itu pemimpin-pemimpin Islam modern berharap akan dapat melepaskan umat Islam nilai suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa pada kemajuan.
Akan tetapi di sebagian umat Islam tradisional hingga sat ini tampak ada perasaan masih belum mau menerima apa yang di maksud dengan pembaharuan Islam. Hal ini, antara lain disebabkan karena salah persepsi dalam memahami arti pembaharuan dalam Islam.mereka memandang bahwa pembaharuan Islam adalah membuang ajaran Islam yang sama diganti dengan ajaran Islam baru, padahal ajaran Islam yang lama itu berdasarkan hasil Ijtihad ulama besar yang dalam ilmunya taat beribadah dan unggul kepribadiannya. Sedangkan ulama yang sekarang di pandang kurang mendalami ilmu agamanya, kurang taat, dalam beribadahnya, dan kurang baik budi pekertinya. Oleh Karena itu mereka masih beranggapan bahwa pemikiran ulama di abad yang lampau sudah cukup baik dan tidak perlu diganti dengan pemikiran ulama sekarang.
Selain itu ada pula yang memahami pembaharuan Islam dengan mengubah Al-Quran dan Hadits, memahami Al-Quran dan Hadits menurut selera orang yang memahaminya atau mencocokan-mencocokan makna Al-Quran dan Hadits dengan makna yang dimaui oleh orang-orang yang menafsirkannya, sehingga Al-Quran dan Hadits semacam setempel yang melegitimasi segala perbuatan yang dilakukan manusia. Dengan kata lain, pembahasan Islam mereka persepsikan dengan upaya mencocokkan kehendak Al-Quran dan Hadits dengan kehendak orang yang menafsirkannya, bukan mengajak orang untuk hidup sesuai dengan Al-Quran dan Hadits. Persepsi demikian hingga kini tampak di pegang terus oleh sebagian umat Islam Tradisional tanpa mau melakukan dialog atau dikusi dengan para tokoh Pembaharu Islam, sehingga munculah istilah kaum modernis dan kaum tradisional.
Modern berarti terbaru, mutakhir atau sikap dan cara berpikir serta bertindak dengan tuntutan zaman.
Sedangkan modernisasi adalah pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa kini.
Selain itu pembaharuan dalam Islam dapat pula berarti mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang terdapat di dalam Al-Quran dan Sunnah. Hal ini perlu dilakukan, karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Al-Quran dengan kenyataan yamg terjadi di masyarakat. Al-Quran misalnya mendorong umatnya agar menguasai pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan modern serta teknologi secra seimbang; hidup bersatu, rukun, dan damai sebagai suatu keluarga besar; bersikap dinamis, kreatif, inovatif, demokratis, terbuka, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, menyukai kebersihan, dan lain sebagainya. Namun kenyatan umatnya menunjukan keadan yang berbeda. Sebagaian besar umat Islam hanya mengetahui pengetahuan agama sedangkan ilmu pengetahuan modern tidak dikuasai bahkan dimusuhi; hidup dalam keadan penuh pertentangan dan peperangan, satu dan lainnya saling bermusuhan, statis, memandang cukup apa yang ada, tidak ada kehandak untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja, bersikap diktator, kurang menghargai waktu, kurang terbuka, dan lain sebagainya. Sikap dan pandangan hidup umat demikian jelas tidak sejalan dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah, dan hal demikian harus diperbarui dengan jalan kembali kepada dua sumber ajaran Islam yang utama itu. Dengan demikian, maka pembaruan Islam mengandung maksud mengembalikan sikap dan pandangan hidup umat agar sejalan dengan petunjuk Al-Quran dan Sunnah.
Untuk mendukung pernyataan tersebut, Harun Nasution dalam bukunya berjudul Pembaharuan dalam Islam telah banyak mengemukakan ide-ide pembaharuan Islam dengan maksud seperti diungkapkan diatas.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam terutama sesudah pembukaan abad ke-19 M, yang dalam sejarah Islam di pandang sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan dunia barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti Rasionalisme, Nasionalisme, Demokrasi, dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru dan pemimpin-pemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan itu.
Sebagaimana halnya di barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Dengan jalan demikian itu pemimpin-pemimpin Islam modern berharap akan dapat melepaskan umat Islam nilai suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa pada kemajuan.
Akan tetapi di sebagian umat Islam tradisional hingga sat ini tampak ada perasaan masih belum mau menerima apa yang di maksud dengan pembaharuan Islam. Hal ini, antara lain disebabkan karena salah persepsi dalam memahami arti pembaharuan dalam Islam.mereka memandang bahwa pembaharuan Islam adalah membuang ajaran Islam yang sama diganti dengan ajaran Islam baru, padahal ajaran Islam yang lama itu berdasarkan hasil Ijtihad ulama besar yang dalam ilmunya taat beribadah dan unggul kepribadiannya. Sedangkan ulama yang sekarang di pandang kurang mendalami ilmu agamanya, kurang taat, dalam beribadahnya, dan kurang baik budi pekertinya. Oleh Karena itu mereka masih beranggapan bahwa pemikiran ulama di abad yang lampau sudah cukup baik dan tidak perlu diganti dengan pemikiran ulama sekarang.
Selain itu ada pula yang memahami pembaharuan Islam dengan mengubah Al-Quran dan Hadits, memahami Al-Quran dan Hadits menurut selera orang yang memahaminya atau mencocokan-mencocokan makna Al-Quran dan Hadits dengan makna yang dimaui oleh orang-orang yang menafsirkannya, sehingga Al-Quran dan Hadits semacam setempel yang melegitimasi segala perbuatan yang dilakukan manusia. Dengan kata lain, pembahasan Islam mereka persepsikan dengan upaya mencocokkan kehendak Al-Quran dan Hadits dengan kehendak orang yang menafsirkannya, bukan mengajak orang untuk hidup sesuai dengan Al-Quran dan Hadits. Persepsi demikian hingga kini tampak di pegang terus oleh sebagian umat Islam Tradisional tanpa mau melakukan dialog atau dikusi dengan para tokoh Pembaharu Islam, sehingga munculah istilah kaum modernis dan kaum tradisional.
Modern berarti terbaru, mutakhir atau sikap dan cara berpikir serta bertindak dengan tuntutan zaman.
Sedangkan modernisasi adalah pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa kini.
Selain itu pembaharuan dalam Islam dapat pula berarti mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang terdapat di dalam Al-Quran dan Sunnah. Hal ini perlu dilakukan, karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Al-Quran dengan kenyataan yamg terjadi di masyarakat. Al-Quran misalnya mendorong umatnya agar menguasai pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan modern serta teknologi secra seimbang; hidup bersatu, rukun, dan damai sebagai suatu keluarga besar; bersikap dinamis, kreatif, inovatif, demokratis, terbuka, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, menyukai kebersihan, dan lain sebagainya. Namun kenyatan umatnya menunjukan keadan yang berbeda. Sebagaian besar umat Islam hanya mengetahui pengetahuan agama sedangkan ilmu pengetahuan modern tidak dikuasai bahkan dimusuhi; hidup dalam keadan penuh pertentangan dan peperangan, satu dan lainnya saling bermusuhan, statis, memandang cukup apa yang ada, tidak ada kehandak untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja, bersikap diktator, kurang menghargai waktu, kurang terbuka, dan lain sebagainya. Sikap dan pandangan hidup umat demikian jelas tidak sejalan dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah, dan hal demikian harus diperbarui dengan jalan kembali kepada dua sumber ajaran Islam yang utama itu. Dengan demikian, maka pembaruan Islam mengandung maksud mengembalikan sikap dan pandangan hidup umat agar sejalan dengan petunjuk Al-Quran dan Sunnah.
Untuk mendukung pernyataan tersebut, Harun Nasution dalam bukunya berjudul Pembaharuan dalam Islam telah banyak mengemukakan ide-ide pembaharuan Islam dengan maksud seperti diungkapkan diatas.
Sejak abad ke-20, gerakan pembaruan pemikiran di dunia Islam terjadi secara massif (besar-besaran) dengan munculnya tokoh-tokoh Muslim ataupun organisasi terkemuka di berbagai negara, seperti Mesir, Iran, Pakistan (India), dan Indonesia. Gagasan pembaruan tersebut dimunculkan melalui istilah dan aksentuasi yang berbeda, antara lain tajdid (renewal, pembaruan) dan ishlah (reform, reformasi), baik yang bertendensi puritanistik dari segi ajaran maupun revivalistik dari segi politik.
Ide-ide pembaharuan terlihat telah turut mewarnai arus pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Menilik latar belakang kehidupan sebagian tokoh-tokohnya, sangat mungkin diasumsikan bahwa perkembangan baru Islam di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh ide-ide yang berasal dari luar Indonesia. Seperti misalnya Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Ahmad Surkati (Al-Irshad), Zamzam (Persis), yang ketiganya sempat menimba ilmu di Mekkah dan berkesempatan untuk dapat berinteraksi dengan arus pemikiran baru Islam dari Mesir. Tokoh lainnya seperti Tjokroaminoto (Sarekat Islam) juga dikenal menggali inspirasi gerakannya dari ide-ide pembaharuan Islam di anak benua India. Sekalipun demikian, Karel Steenbrink menyatakan keraguannya pada adanya pengaruh pemikiran Muhammad Abduh kedalam konstruk gerakan Islam Indonesia modern.
Ide-ide pembaharuan Islam dari luar yang masuk ke Indonesia dengan demikian dapat dibaca berlangsung secara berproses setidaknya melalui 3 (tiga) jalur :
Jalur haji dan mukim, yakni tradisi (pemuka) umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ketika itu bermukim untuk sementara waktu guna menimba dan memperdalam ilmu keagamaan atau pengetahuan lainnya. Ide-ide baru yang mereka peroleh tak jarang kemudian juga mempengaruhi orientasi pemikiran dan dakwah mereka di tanah air. Dari hasil observasi C.S. Hurgronje terhadap komunitas muslim dari Jawa yang bermukim di Mekah pada tahun 1884-1885 M, menyebutkan bahwa kurikulum yang dipelajari mereka di sana antara lain teologi, fikih, ilmu bahasa dan sastra Arab, aritmatika yang berguna untuk perhitungan fara’id (ilmu waris) dan juga ilmu falak dengan metode hisab. Masyhur dalam sejarah bahwa K.H. Ahmad Dahlan yang menguasai ilmu falak mempergunakan metode hisab (bukan lagi dengan ru’yat) untuk menentukan waktu awal puasa atau jatuhnya hari raya Ied, yang ketika itu memperoleh penentangan kuat dari ulama setempat yang masih berfaham tradisionil;
Jalur publikasi, yakni berupa jurnal atau majalah-majalah yang memuat ide-ide pembaharuan Islam baik dari terbitan Mesir maupun Beirut. Wacana yang disuarakan media tersebut kemudian menarik muslim nusantara untuk mentransliterasikannya ke dalam bahasa lokal, seperti pernah muncul jurnal al-Imam, Neracha dan Tunas Melayu di Singapura. Di Sumatera Barat juga terbit al-Munir yang sebagian materinya disadur K.H. Ahmad Dahlan kedalam bahasa Jawa agar mudah dikonsumsi anggota masyarakat yang hanya menguasai bahasa ini;
Peran mahasiswa yang sempat menimba ilmu di Timur-Tengah. Menurut Achmad Jainuri, para pemimpin gerakan pembaharuan Islam awal di Indonesia hampir merata adalah alumni pendidikan Mekah. Alumni pendidikan Mesir yang terlibat dalam gerakan pembaharuan ini rata-rata baru muncul sebagai generasi kedua.
Patut dicatat disini bahwa faktor domestik seperti proyek pendidikan yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda ketika itu telah menunjukkan implikasi nyata berupa kemunculan kaum pribumi terpelajar. Dimana golongan inilah yang peka terhadap isu-isu pembaharuan. Namun secara umum sebagaimana diutarakan oleh Alfian, kelahiran dan perkembangan pembaharuan Islam di Indonesia merupakan wujud respon terhadap hal-hal berikut ini:
Kemunduran Islam sebagai agama karena praktek-praktek penyimpangan;
Keterbelakangan para pemeluknya; dan
Adanya invansi politik, kultural dan intelektual dari dunia Barat.
Singkat kata, gerakan pembaharuan Islam di Indonesia tidaklah muncul dalam satu pola dan bentuk yang sama, melainkan memiliki karakter dan orientasi yang beragam. Disini penting dipahami bahwa gerakan nasionalisme Indonesia yang bangkit sekitar awal abad ke-20 diusung sebagiannya oleh tokoh-tokoh modernis muslim tidak hanya melalui kendaraan gerakan yang berdasar atau berafiliasi ideologis pada Islam. Sejarah menunjukkan bahwa Islam ternyata hanya menjadi salah satu alternatif yang mungkin bagi tokoh-tokoh modernis muslim di Indonesia sebagai sumber rujukan teoritis dan instrumental gerakan pembaharuan dan nasionalismenya. Sekalipun demikian, hal ini tidak mengecilkan pengertian adanya keterkaitan antara dimensi penghayatan religius dan artikulasi perjuangan sosial-politik di masyarakat. Dengan kata lain, kesadaran nasional sebagai anak bangsa yang terjajah oleh penguasa asing tampaknya memikat mereka untuk bersama-sama menempatkan prioritas nasional sebagai ujud kepeduliannya. Maka menarik dicermati paparan Harry J. Benda yang menyebutkan bahwa pembaharuan Islam di Indonesia pada umumnya memiliki 4 (empat) bidang garap :
Menyerang formalisme dari ortodoksi Islam serta realitas sinkretisme ajaran karena pengaruh animisme dan Hindu-Budha;
Menyerang institusi pra-Islam yang menghalangi perkembangan, dengan representasi institusi adat dan kaum priyayi;
Melawan tekanan westernisasi dan dominasi nilai-nilai Barat; dan
Melawan kekuasaan status quo kolonial Belanda.
Dengan kian massifnya kiprah gerakan pembaharuan Islam di Indonesia di tengah-tengah masyarakat, secara umum pada awal abad ke-20 M tersebut, corak gerakan keagamaan Islam di Indonesia dapat dipetakan dengan meminjam istilah Achmad Jainuri sebagai berikut:
Tradisionalis-konservatis, yakni mereka yang menolak kecenderungan westernisasi (pembaratan) dengan mengatasnamakan Islam yang secara pemahaman dan pengamalan melestarikan tradisi-tradisi yang bercorak lokal. Pendukung kelompok ini rata-rata dari kalangan ulama, tarekat dan penduduk pedesaan;
Reformis-modernis, yakni mereka menegaskan relevansi Islam untuk semua lapangan kehidupan baik privat maupun publik. Islam dipandang memiliki karakter fleksibilitas dalam berinteraksi dengan perkembangan zaman;
Radikal-puritan, seraya sepakat dengan klaim fleksibilitas Islam di tengah arus zaman, mereka enggan memakai kecenderungan kaum modernis dalam memanfaatkan ide-ide Barat. Mereka lebih percaya pada penafsiran yang disebutnya sebagai murni Islami. Kelompok ini juga mengkritik pemikiran dan cara-cara implementatif kaum tradisionalis. Sebagai pengayaan, menarik jika tipologi ini dikomparasikan dengan kasus gerakan Islam yang berkembang di Turki.
B. NU (Nahdlatul Ulama)
a. Sejarah Berdirinya NU
Selama abad ke 19 indonesia mengalami efek pengaruh barat yang berakibat alinasi politik dan kemerosotan ekonomi yang semakin buruk. Pemerintah colonial belanda dalam usaha menunjang kebutuhan dalam negrinya dan negri jajahannya menerapkan politik kerja paksa untuk menanam tanaman ekspor kepada para petani di Indonesia yang dikenal dengan politik taman paksa (1830-1870). Tentu saja kebijaksanaan politik tersebut tidak bisa tidak memerlukan mekanisme politik yang otoriter dengan mengontrol sejumlah besar elit priyayi dan pamong praja sebagai bemper pengaman yang tangguh atas kebijaksanaan itu. Sudah tentu mereka memperoleh keuntungan ekonomis atas jerih payah mereka. Namun pada sisi yang lain menimbulkan alinasi yang kian melebar anatara kaum priyayi dan golongan petani. Kebijaksanaan itu menimbulkan kemerosotan ekonomi petani yang tidak mampu bersaing melawan pengusaha besar.
Situasi ini membawa akibat disintegrasi dan keresahan social yang hampir merata diseluruh Indonesia. Perang diponegoro, perang aceh, perang paderi, serta pemberontakan petani banten merupakan sebagian fenomena diatas. Walaupun pada umumnya pemberontakan itu dapat dipadamkan colonial belanda, namun benih ketidakpuasan para petani itu terus tumbuh dengan suburnya dan mempengaruhi rakyat pedesaan umumnya. Akibatnya rasa ketidakpuasan itu menjadi sikap anti pemerintah asing yang "kafir" setelah mereka memperoleh legitimasi kepemimpinan para ulama. Kombinasi dari dua kekuatan ini sudah pasti merepotkan colonial. Dan pada umumnya para ulama tidak mengingikan kehadiran belanda yang langsung atau tidak langsung membawa misi agama keristen yang merugikan mereka. Pada sisi lain para petani sendiri memerlukan para ulama sebagai tumpuan harapan akibat kebijaksanaan belanda yang merugikan.
Keterbelakangan ini, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul pada tahun 1908 dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana. Setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Seiring dengan gerakan perlawanan yang menyertai keresahan social dibanyak tempat itu bermunculan pula gerakan kebangkitan kembali agama yang menampakkan diri dalam bentuk sekolah-sekolah dan perkumpulan tarekat dibanyak tempat diseluruh jawa dan luar jawa. Menghadapi kenyataan itu, belanda mengubah kebijaksanaan politik dengan menerapkan politik etis untuk menciptakan kondisi-kondisi social dan politik yang langgeng dan memberi kemakmuran rakyat seperti membantu pendidikan rakyat dengan membuka sekolah-sekolah untuk pribumi, perbaikan prasarana dan fasilitas prekonomian dan memberi otonomi daerah pada pribumi.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bidah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
b. Paham Keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah wal jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an dan sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti salah satu mazhab seperti imam Syafi'i Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
c. Pemahaman Ahlussunah
Aswaja selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte, ideologi, atau sejenisnya). Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah doktrin yang diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja). Kondisi ini menabukan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya.
Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan apa yang menjadi doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama terdahulu. Di kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada beberapa tulisan yang secara eksplisit menyangkut dan membahas doktrin Aswaja.
Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy'ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan melakukan pembakuan atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tawhid aswaja (harus) mengikuti Al-Maturidi, ulama Afganistan atau Abu Hasan Al Asy’ari, ulama Irak. Bahwa mengenai fiqh, mengikuti salah satu di antara 4 mazhab. Dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali atau Al-Junaidi.
Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak, Jogjakarta juga menuliskan doktrin aswaja dengan judul Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup populer di pesantren dan madrasah NU. Kitab ini membuka pembahasan dengan mengajukan landasan normatif Aswaja. Beberapa hadits (meski dho'if) dan atsar sahabat disertakan. Kemudian, berbeda dengan Kyai Hasyim yang masih secara global, Mbah Maksum menjelaskan secara lebih detail. Beliau menjelaskan persoalan talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat qabliyah Jumat, penentuan awal ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya.
Itu hanya salah satu di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun sebelumnya. Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah daur ulang atas pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami agama.
Lebih lanjut, adanya klaim keselamatan (salvation claim) yang begitu kuat (karena didukung oleh tiga hadits) membuat orang takut untuk memunculkan hal baru dalam beragama meski itu amat dibutuhkan demi menjawab perkembangan zaman. Akhirnya, lama-kelamaan, aswaja menjadi lapuk termakan usia dan banyak ditinggal zaman.
Benarkah aswaja bakal ditinggalkan oleh jaman?. Nyatanya, hingga kini, Aswaja justru dianut oleh mayoritas umat Islam di dunia. Mengapa hal ini terjadi, bila memang aswaja telah mengalami stagnasi?
Jawabannya satu: aswaja adalah doktrin. Seperti yang dicantumkan di muka, ini menyebabkan orang hanya menerimanya secara apriori (begitu saja dan apa adanya). Inilah yang dinamakan taqlid. Karena itu, stagnasi tetap saja terjadi. Akan tetapi, karena sudah dianggap (paling) benar, maka, bila doktrin itu berbenturan dengan “kenyataan” (al-Waqâ’i’) —yang terus berkembang dan kadang tidak klop dengan ajaran—, maka yang keliru adalah kenyataannya. Realitalah yang harus menyesuaikan diri dengan teks.
Pemahaman semacam itu pada akhirnya, menyebabkan pemaksaan ajaran aswaja dalam realita untuk menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat. Hal ini menyebabkan peran aswaja tidak efektif dalam problem solving. Aswaja hanya akan menjadi duri dalam daging masyarakat yang amat membahayakan. Akibat lain yang biasa muncul, lebih banyak masalah yang timbul dari pada persoalan yang terpecahkan. Karenanya, taqlid buta seyogyanya dihindari.
Akan tetapi, bagi masyarakat umum yang tingkat pemahamannya beragam, taqlid semacam ini menjadi jalan keluar alternatif dalam menghadapi persoalan dengan tetap berpegang pada Islam aswaja. Tetapi, pantaskah taqlid dilakukan oleh kalangan intelektual ? Kiranya, kita bisa menjawabnya.
Berbagai problem yang telah dihadapi ideologi aswaja. Kiranya metode yang satu ini menawarkan sedikit jalan keluar. Meski masih tetap mengikuti aswaja, aswaja tidak diposisikan sebagai teks (baca: korpus) yang haram disentuh.
Karenanya, harus ada cara pandang baru dalam memahami aswaja. Bahwa dalam setiap ajaran (doktrin) punya nilai substansi yang sifatnya lintas batas karena universalitasnya. Hal ini bisa dilihat dari tiga nilai dasar aswaja; yakni tawazun, tawasuth, dan i’tidal.
Diketahui, nilai-nilai itu nyatanya amat fleksibel dan bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi, bahkan tempat apapun. Selain itu, dalam aplikasinya, tiga nilai itu menuntut kerja intelektual agar bisa diterapkan dengan baik. Operasi jenis ini biasa disebut dengan ittiba’, yang tentunya lebih manusiawi dan memanusiakan.
Nilai-nilai ini bila dikembangkan akan menyebabkan aswaja semakin shalih likulli zaman wa makan, aplikabel di setiap masa dan ruang. Pun, aswaja bisa tampil dengan gaya yang enak dan diterima umum sebagai sebuah jalan keluar. Selain itu, Sunni yang mayoritas, bisa melakukan tugasnya menjaga stabilitas sosial keagamaan.
Nah, untuk sampai pada sisi ini, perlu ada keberanian dalam menempuh jalan yang berliku. Harus ada kerja keras untuk mencari lebih jauh tentang ajaran, tata norma, dan metode ijtihad aswaja yang humanis, egaliter, dan pluralis.
Hal ini juga bisa menampik beberapa organ Islam ekstrem yang secara eksplisit mengaku sebagai kaum Ahlussunnah wal Jamaah, meski suka mengkafirkan yang lain, menebar ketidaktenteraman di kalangan umat lain, serta tidak rukun dengan jamaah yang lain.
Namun, satu tantangan yang juga harus diperhatikan adalah kita sebagai mahasiswa (kader ASWAJA) yang punya kesempatan mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih baik, harus berani mengambil satu tindakan: ijtihad. Dan bila tidak berani sendiri, tak ada salahnya ijtihad berjamaah.
d. Usaha Organisasi
Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat. Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
e. Gerakan NU
NU sebagai organisasi masa Islam, sampai sekarang masih menjadi bahasan yang menarik di dunia akademik. Banyak peneliti asing yang tertarik dengan NU, di antaranya Martin van Bruinessen , Greg Barton, Greg Fealy, Ben Anderson, Mitsuo Nakamura dan lain sebagainya. Mereka tertarik kultur NU dengan ketradisionalannya yang dianggap eksotik.
Berbeda dengan aliran Islam lainnya, NU sangat menghargai tradisi dan kebudayaan setempat. Para peneliti ini mengikuti penelitian Antropologis yang sebelumnya pernah dilakukan. Mereka adalah Clifford Gertz, Andrew Beautty, Mark R. Woodward, Robert Hefner dan antropolog lainya yang memfokuskan pada agama Jawa. Karya-karya yang dihasilkan oleh para peneliti ini hingga sekarang cukup populer dan selalu menjadi rujukan di dunia akademis baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Dalam konteks seperti ini, NU menjadi obyek penelitian. Para peneliti inilah yang memiliki otoritas untuk merepresentasikan NU, baik itu berupa sejarah, komunitas, perilaku, dan masa depan NU. Sebagai obyek penelitian, tentunya NU sama sekali tidak memiliki otoritas dalam merepresentasikan dirinya. Hasil-hasil penelitian beberapa peneliti ini, bukan tidak berdampak pada perkembangan Islam di Indonesia. Kita perlu menyadari bersama bahwa peneliti Barat bukan hanya sekedar meneliti atas nama pengetahuan belaka. Mereka datang untuk meneliti sekaligus membuat bangunan epistemologi gerakan Islam. Sehingga wajar jika gerakan Islam di Indonesia semakin bias kepentingan.
C. Muhammadiyah
a. Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah salah satu organisasi masa islam dan organisasi dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang berakidah islam dan bersumber pada Al quran dan sunnah. Secara etimologis nama ini berasa dari kata Muhammad, yaitu nama Rasulullah SAW yang ditambah ya’ nisbah dan ta’ marbutoh yang berarti “pengikut Nabi Muhammad Saw”.
KH.Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) menegaskan “ Muhamadiyah bukanlah nama perempuan melainkan berarti umat Muhammad, pengikut Muhammad, Nabi Muhammad SAW utusan Tuhan yang penghabisan ”.
Awal aba ke-20 didalam sejarah Indonesia dikenal sebagai fajar kebangkitan nasional karena permulaan abad ini ditantadai dengan lahirnya berbagai organisisi sosoial-pendidikan keagamaan seperti muhammadiyah. Sekalipun demikian kelahiran muhammadiyah tidak lepas dari aspirasi tuntutan zaman. Fenomena awal abad ke-20 adalah kebangkitan nasionalisme dalam rangka perjuangan untuk menumbangkan imperealisme dan kolonialisme yang telah bercokol selama 350 tahun.
Sepetri yang telah diketahui sasaran pokok perjuangan muhammadiyah sejak kelahirannya adalah :
Memurnikan ajaran islam sesuai dengan tuntunan qur’an dan hadits.
Mengajak masarakat untuk memeluk dan memperaktikan cita ajaran islam.
Menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.
Memperaktikan ajaran islam dalam kehidupan masarakat.
Mempergiat usaha dibidang pendidikan dan pengajaran dengan bernafaskan islam.
Apa seabab ? karena pada masa itu islam di Indonesia, hususnya ditanah jawa tengah diselimuti oleh berbagai praktik dan etika yang bersumber dari non-muslim. Praktik itu dinilai makin lama makin menjauhkan ummat dan cita ajaran islam yang sebenarnya. Disamping itu ajaran-ajaran yang bukan dari islam ini memperlemah jiwa dan semangatnya, sehingga menjadi budak bangsa asing dinegrinya sendiri. Kebodohan dan kemiskinan umat inilah sesungguhnya sebab utama mengapa belanda sekian lama mampu berkuasa dan memjajah tanah air secantik ini.
Sebagai seorang ulama, pimpinan dan pejuang KH. Ahamad Dahlan hatinya merasa resah dan gelisah, kemudian tergugah dan terpanggil untuk mengatasi keadaan yang keritis ini dengan mendirikan suatu organisasi islam. Maka dengan dilandasi rasa tanggung jawab terhadap masa depan agama, umat dan bangsa didirikanlah organisasi muhammadiyah pada tanggal 18 november 1912 di Yogyakarta.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan kalangan muhammadiyah yang menjadi faktor didirikannya organisasi ini oleh KHA. Dahlan :
Ia melihat bahwa umat islam tidak memegang teguh alquran dan sunnah sehingga akhlak masarakat runtuh karena sirik merajalela.
Lembaga pendidikan agama pada waktu itu tidak efisisen. Pesantren yang menjadi lembaga pendidikan kalangan bawah, pada waktu itu dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan masarakat. Pada waktu itu pendidikan di indonesia telah terpecah menjadi dua yaitu pendidikan sekuler yang dikembangkan belanda dan pendidikan pesantren.
Kemiskinan menimpa rakyat indonesia, terutama umat ioslam yang sebagian besar adalah petani dan buruh.
Aktivitas misi katolik dan protestan sudah giat beroperasi sejak awal abad 19 dan bahkan sekolah misi mendapat subsidi dari pemerintah hindia belanda.
Organisasi ini telah memberikan sumbangsih terhadap tanah air, bangsa dan agama, terutama dibidang sosial, pendidikan dan agama. Berkat ajasa muhammadiyah, umat dan bangsa telah bangkit dari kekantukan dan kebodohan zamannya. Bersama-sama organisasi lain muhammadiyah telah memenuhi panggilan ibu pertiwi. Sepanjang perjalanannya, muhammadiyah telah mewarnai indonesia dengan kegiatan-kegiatan positif. Sehingga kehadirannya dirasakan masarakat luas.
b. Aktivitas Muhammadiyah
Untuk merealisasikan tujuannya yaitu :
Memajukan serta mnggembirakan pelajaran dan pengajaran agama islam di kalangan sekutunya.
Memajukan serta mengembirakan hidup sepanjang kemauan agama islam di kalangan sekutunya.
Muhammadiyah melakukan berbagai aktivitas, anatara lain :
Membersihkan islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang non-islam. Hal ini dilakukan dengan mempergiat dan memperdalam penyelidikan ilmu agama islam untuk mendapatkan kemurniannya, memperteguh iman, menggembirakan (memotifasi dan memasyarakatkan) dan memperkuat ibadah, mempertinggi akhlak mempergiat dan menggebirakan dakwah islam serta amar ma’ruf nahi munkar, serta mendirikan, menggembirakan dan memelihara tempat ibadah dan waqaf.
mengadakan reformasi doktrin islam dengan pandangan alam pikiran modern.
Mengadakan reformasi ajaran dan pendidikan islam pembaruan muhammadiyah terlihat dari dua sisi ketika itu, yaitu memberikan pengajaran ajaran islamdi sekolah belanda dan mndirikan sekolah sendiri yang berbeda dengan sistem pesantren. Disekolah ini, disamping pendidikan agama juga juga diberikan pendidikan umum, tidak dilakukan pemisahan antara murid laki-laki dan perempuan.
mempertahankan islam dari pengaruh dan serangan dari luar. Untuk itu muhammadiyah berusaha membentengi para pemuda, pelajar dan rakyat biasa dengan menimbulkan kesadaran beragama dan berusaha untuk memperbaiki kehidupan dan penghidupan mereka sesuai ajaran islam. Dismping itu, rasa persatuan dikalang umat perlu digalang kembali.
c. Muhammadiyah Dan Pengembangan Masarakat
Muhammadiyah adalah salah satu organisasi sosial terpenting di Indonesia. Dalam perjalanan dan perkembangannya selama 72 tahun, muhammadiyah telah menunjukkan aktivitasnya dibidang keagamaan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, sosial dan kemasrakatan. Dalam mata kepribadian muhammadiayah dapat dilihat bahwa muhammadiyah adalah gerakan islam. Maksud gerakan disini adalah “ gerakan amar ma’ruf nahi mungkar ” yang ditujukan kepada peroranganan masarakat. Dengan predikat tersebut gerakan muhammadiyah bercita-cita untuk mewujudkan masarakat islam yang sebenar-benarnya “ baldatun toyibatun wa robbun gofur “.
Laju perkembangan muhammaiyah yang cukup pesat dalam periode 1912 - 1942 Delier Noer “ Dengan pengabdian yang sungguh-sungguh pada kerjanya dapatlah kita amati penyebaran yang amat cepat dari organisasi muhammadiyah". Pada tahun 1925 organisasi ini telah mempunya 29 cabang dengan 4000 orang anggota. Pada kongres tahun 1929 tercatan 19000 anggota muhammdiyah dari pulau-pulau besar di indonesia. Pada kongres tahun 1930 yang diadakan dibukit tinggi, mencatat 112 cabang dengan 24000 anggota. Pada tahun 1935 tersebar pada 710 cabang termasuk 316 di jawa, 286 di sumatra, 79 di sulawesi dan 29 di kalimantan. Pada tahun 1938 terdapat 852 cabang serta 898 kelompok yang belum berstatus cabang, seluruhnya dengan 250.000 anggota.
d. Tiga Gerakan Muhammadiyah
KETUA baru Muhammadiyah, siapa pun yang terpilih dalam muktamar yang ke-45 di Malang, diharapkan mengingat kembali tiga gerakan Muhammadiyah: Islam, dakwah, dan tajdid (pembaruan). Sebagai gerakan Islam dan dakwah, Muhammadiyah berkembang pesat. Organisasi itu kabharnya mempunyai 25 juta pengikut. Sekolah, rumah sakit, dan fasilitas sosial yang didirikan organisasi ini berkembang baik. Tapi sebagai gerakan pembaruan Islam, Muhammadiyah bisa jauh lebih maju dari apa yang ditunjukkannya sekarang.
Tiga gerakan itu sebenarnya bisa lebih intensif digarap apabila Muhammadiyah menjaga jarak dengan politik. Niat beberapa kadernya untuk mendirikan partai baru, menurut koran ini, haruslah dicegah. Sudah terbukti, tidak efektif membawa Muhammadiyah sebagai “jualan politik”. Partai Amanat Nasional yang “dekat” dengan Muhammadiyah terbukti hanya mengumpulkan suara jauh lebih sedikit daripada jumlah pengikut Muhammadiyah. Amien Rais, bekas Ketua Muhammadiyah yang mencalonkan diri sebagai Presiden RI, juga gagal meraih suara sebanyak pengikut Muhammadiyah.
Karena itu, keputusan Amien Rais dan Syafi’i Ma’arif yang tak bersedia dipilih kembali sebagai ketua merupakan teladan bagus. Selain agar kaderisasi bisa berjalan teratur, organisasi itu perlu figur yang tidak terkait dengan kegiatan politik praktis. Muhammadiyah perlu seorang manajer andal bagi sebuah “korporasi keagamaan” besar dengan banyak fasilitas layanan sosial. Kalau layanan umat yang hendak dituju, seyogianya yang terpilih nanti bukanlah seorang aktivis politik yang mewakili kepentingan politik tertentu selama ini.
Dari luar panggung politik, dengan jaringan yang luas, Muhammadiyah lebih leluasa membantu memecahkan banyak persoalan bangsa. Amien Rais menyebut tujuh persoalan utama bangsa, di antaranya, kemiskinan, korupsi, separatisme di Aceh dan Papua, narkoba, dan hilangnya kepercayaan diri bangsa.
Lewat pengajaran di sekolah, bahaya narkoba bisa ditangkal, kemudaratan tindakan korupsi bisa ditanamkan sejak usia sekolah. Ada soal lain yang bisa dilakukan, Muhammadiyah disarankan memikirkan pendidikan yang kian mahal di negeri ini. Dengan pendidikan yang terjangkau untuk semua kelas sosial, anak-anak tak mampu bisa ditampung, dan kehidupan kalangan tak berpunya diharapkan bisa lebih baik.
Semua langkah penting Muhammadiyah ini bisa dilakukan dengan intens bila pengurus organisasi ini tidak terlibat dalam kegiatan politik dan perebutan kekuasaan. Untuk itu, sekali lagi, diharapkan Muhammadiyah tidak ikut-ikutan mendukung partai yang ada sekarang. Biarlah suara warga Muhammadiyah disalurkan ke partai mana saja. Muhammadiyah lebih baik meneguhkan perannya sebagai lokomotif gerakan madani–yang menghela bangsa ini ke arah yang lebih baik.
e. Eksistensi Muhammadiyah
- Muhammadiyah Pada Masa Penjajahan
Pada masa ini, perintisan yang dilakukan K.H.A.Dahlan mengarah pada ajakan untuk melaksanakan islam secara benar sesuai dengan tuntunan AL-Qur’an dan As-sunah shahihah, wujud rintisan K.H.A.Dahlan antara lain :
Pada tahun 1898, beliau meluruskan arah kiblat secara benar dengan serong kearah barat laut 24,5 derajat.
Bermula dari sekolah yang dirintis di teras rumah K.H.A Dahlan dan akhirnya beliau membangun gedung standard school med de Qur’an hingga akhirnya pendidikan Muhammadiyah terus berkembang.
K.H.A Dahlan yang dibantu K.H.Suja’ merintis RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada 15 Februari1923.
Pada tahun 1922, didirikan mushala khusus wanita.
Pada 23 Februari 1923, K.H.A Dahlan wafat. Namun perjuangan Muhammadiyah tetap dilanjutkan oleh murid-murid beliau dan terus mengalami perkembangan seperti :
H.Karim Amrullah yang bergelar H.Rasul pemimpin perkumpulan Sandi Aman di Padang bergabung dengan Muhammadiyah.
Dipercayakannya Consul-Consul di luar pulau Jawa kepada :
AR Sutan Mansyur consul untuk pulau Sumatera.
M.Hasan Tjorong consul untuk pulau Kalimantan.
D.Muntu consul untuk pulau Sulawesi.
- Muhammadiyah Pada Masa Kemerdekaan
Rasa kecintaan Muhammadiyah terhadap tanah air dibuktikan dengan di bentuknya perkumpulan Hisbul Wathan yang berarti pembela tanah air. Beberapa aktivisnya yaitu bapak Sarbini dan Jend.Sudirman.
Setelah Indonesia merdeka, putera terbaik Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusuma menjadi anggota BPUPKI untuk merumuskan Pancasila
Pada 17 Agustus 1945, Muhammadiyah membidani lahirnya partai Masyumi yang diresmikan pada 7 November 1945.
- Muhammadiyah Pada Masa Orde Lama
Kemenangan Partai Masyumi pada 1955, membuat PKI dan antek-anteknya menaruh dendam hingga menuduh Masyumi terlibat dalam pemberontakan PRRI di Sumatera. PKI membujuk penguasa pada saat itu untuk membubarkan Masyumi yang tentu akan mengancam eksistensi Muhammadiyah. Tetapi,keputusan tertingi tetap di tangan presiden Soekarno.
Dampak dari permasalahan tersebut, banyak tokoh Masyumi yang notabene aktivis Muhammadiyah dijebloskan ke penjara yakni :
Buya HAMKA
Mr.Kasman Singidimejo
dr.Yusuf Wibisono
Pada 1959, dikeluarkan dekrit presiden yang memberi waktu pada Masyumi untuk membubarkan diri. Lalu dalam rangka menyelamatkan Muhammadiyah dari hasutan PKI terhadap presiden, diberikanlah predikat “Anggota Setia Muhammadiyah” kepada Ir.Soekarno.
- Muhammadiyah Pada Masa Orde Baru
Pada masa ini, Muhammadiyah menata kembali organisasinya dan turut membantu pemerintah dalam menumpas PKI. Namun setelah cukup lama berkuasa, mulai terjadi penyelewengan-penyelewengan. Semua organisasi Massa dan politik tidak ada yang boleh menentang kata-kata pemerintah. Pada 1977, munculnya krisis moneter yang menyerang bangsa Indonesia. Hal ini mendorong para aktivis untuk ikut bersama gelombang masyarakat untuk melengserkan rezim orde baru. Akhirnya pada 22 Mei 1998, rezim orde baru tumbang, dan digantikan dengan Masa Reformasi yang satu diantara penggeraknya ialah Prof. DR.H.Amien Rais.
- Muhammadiyah Pada Masa Reformasi
Dalam siding Tanwir di Semarang pada 1998, Muhammadiyah merelakan Prof.DR.H. Amien Rais untuk melepaskan jabatannya sebaga Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah guna menjaga agar kondisi perpolitikan tidak menghambat gerak juang Muhammadiyah.
Pada Sidang Tanwir Muhammadiyah bulan Februari 2002 di Bali, Muhammadiyah merumuskan khittah berbangsa dan bernegara yang isi nya mempertegas statement Ujung Pandang dan Khittah Surabaya.
Muhammadiyah mengihimbau kadernya yang berpolitik riil agar memperhatikan :
Mengedepankan kejujuran
Menjadi Uswatun Khasanah
Melakukan Islah
D. Gerakan-Gerakan Selain NU dan Muhammadiyah
- JIMM (Jaringan Intelektual Muhammadiyah)
JIMM adalah singkatan dari Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah. Ini merupakan komunitas generasi Muhammadiyah yang merasa bahwa gerakan pemikiran dan intelektual di Muhammadiyah mengalami kemandekan. Sebagai sebuah komunitas yang bergerak di bidang pemikiran, JIMM tidak memiliki sistem keanggotaan yang mengikat. JIMM berdiri pada bulan Oktober 2003, di Bogor melalui sebuah workshop yang diorganisir oleh Ma'arif Institute for Culture and Humanity, Jakarta. Tokoh penting di balik kelahiran JIMM adalah Moeslim Abdurrahman dan Syafii Maarif. Baik Moeslim maupun Syafii sama-sama memberikan ruang yang cukup luas bagi anak-anak muda Muhammadiyah yang tergabung dalam JIMM untuk berekspresi dalam bidang pemikiran, utamanya pemikiran Islam dan sosial.
Meski bukan organisasi resmi, JIMM memiliki sejumlah presidium yang berfungsi sebagai koordinator atas berbagai kegiatan JIMM. Pada awal berdirinya, presidium JIMM adalah: Piet H Khaidir, Zakiyuddin Baidhawi, Zuly Qodir, Pradana Boy ZTF dan A'i Fatimah Nur Fuad. Sementara untuk keperluan sekretariat, Ahmad Fuad Fanani adalah penanggung jawab sekretariat JIMM. Piet H Khaidir memilih jalur politik dengan mengadu keberuntungan mengikuti pemilihan umum untuk anggota legislatif. Keberadaan Piet sebagai presidium kemudian digantikan oleh Said Ramadhan. Pada tahun 2006, JIMM mengadakan pertemuan yang berupa refleksi tiga tahun kelahiran JIMM dan antara lain memutuskan komposisi presidium baru yang sebenarnya masih merupakan penetapan atas presidium lama, kecuali penggantian Said Ramadhan dengan Ahmad Fuad Fanani dan Ai Fatimah dengan Sri Rahayu Arman.
Secara metodologis, JIMM lahir sebagai respon untuk melakukan dinamisasi pemikiran Islam dalam Muhammadiyah. Meskipun demikian, respon dari kalangan Muhammadiyah sangat beragam. Tetapi mayoritas respon itu justru melihat JIMM sebagai gejala negatif, sehingga muncul sejumlah plesetan untuk nama JIMM. Di Yogyakarta, misalnya, JIMM diartikan sebagai Jaringan Iblis Muda Muhammadiyah.
JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah)), disebut sebagai gejala kebangkitan kaum muda Muhammadiyah, setelah fenomena yang sama terjadi pada NU. NU telah lama diramaikan oleh kebangkitan kaum mudanya. Kaum muda NU itu terlibat dalam berbagai pergolakan pemikiran dan aktivitas. Kebangkitan kaum muda NU terutama terlihat dalam apa yang disebut Jaringan Islam Liberal dan Post Tradisionalisme Islam.
- JIL (Jaringan Islam Liberal)
Pada tahun 1970-an, bersamaan dengan munculnya orde baru yang memberikan tantangan tersendiri bagi umat islam. Terhadap situasi baru yang sedang dihadapi, mereka tidak menemukan jawabanya dari sumber-sumber masa lalu, maka mereka memberikan jawabanya dari latar belakang pendidikan mereka masing-masing. Maka muncullah kelompok anak muda “pembaharuan pemikiran islam”. Mereka menamakan kelompoknya dengan Islam Liberal.
Beberapa permasalahan yang berusaha mereka cermati oleh isalam liberal yaitu hal-hal atau fenomena-fenomena yang berkaitan dengan permasalahan kontemporer. Secara garis besar,dalam mensikapi fenomena yang dikembalikan pada nash keagamaan (AL-Quran dan Hadist) adalah dengan mengambangkan adalah dengan meode hermeneutika atau filsafat relatifisme.
- Pokok Pemikiran
- Membuka Pintu Ijtihad Pada Semua Dimensi Islam
Ijtihad menurut Islam liberal diselenggarakan secara kaaffah, baik segi mu’amalat, ubudiyat, dan ilahiyat atas teks-teks ilahiyat keislaman,sebagai prinsip utama yang memukinkan islam terus berkembang dan bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad ancaman terhadap islam itu sendir sehingga terjadi pembusukan dalam islam. Jika ijtihad dilakukan oleh para ulama yang capable dan disesuaikan dengan perkembangan zaman serta persyaratan sebagai mujahid, maka dengan sendirinya agama terus bisa mengambil peran dalam perkembangan zaman.
Penganut paham Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselanggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat(interaksi sosial), Ubudiyat(ritual), dan ilahiyat(teologi)
Ijtihad yang dikembangkan merupakan upaya untuk menafsirkan berdasarkan semangat religio- etik Quran dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan isalam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks.Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan islam. Dengan penafsiran yang dilakukan dengan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari kemanusiaan yang universal.
- Memaknai Teks Al-Quran Dan Al-Hadist Secara Liberal Dengan Mengutamakan Semangat Religio-Etik
Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Alloh SWT kepada Muhammad SAW, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqofi) sebagaiyang digulirkan oleh Nasher Hameed Abu Zaid. Metode tasfir yang digunakan adalah Hermeneutika, karena metode tasfir yang konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Dengan demikian yang dimaksud dengan faham keagamaan liberal adalah cara menafsirkan dengan semangat religioetik dari kitab suci, tidak menafsirkan agama berdasarkan makna literal sebuah teks. Oleh sebab itu penafsiran kitab suci bersifat relatif dan plural.
- Berpihak Kepada Kaum Minoritas Yang Tertindas Dan Mewujudkan Keadilan Sejati, Baik Etnis, Agama Maupun Gender.
Islam liberal lebih memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas kelompok minoritas adalah berlawanan dengan semangat islam. Minoritas disini difahami dalam maknanya yang luas, mencangkup minoritas agama, etnik, ras, gender, budaya, politik, dan ekonomi. Memihak kepada kaum minoritas yang tertndas dan terpinggirkan, tidak membenarkan penganiayaan atas sesuatu pendapat atau kepercayaan serta terdapat pemisahahan kekuasaan antara agama dan politik. Agama berada diruang privat dan urusan publik harus ditetapkan secara konsensus.
- Kebebasan Beragama
Kelompok islam liberal berpendapat bahwa memeluk suatu agama adalah hak privat tiap individu, apakah seseorang akan memeluk agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, atau Budha. Bahkan hak seseorang untuk bersikap Atheis. Kebenaran berada pada setiap agama dimana semua memiliki satu tujuan, yaitu pada Tuhan.
- Memisahkan Otoritas Duniawi Dan Ukhrowi, Otoritas Agama Dan Politik
Faham Islam liberal berpendapat bahwa otoritas terhadap agama hanya akan memberi pengaruh negatif, karena menganggap Ulama dapat melakukan Justifikasi, monopoli kebenaran dan menghukum pandangan yang tidak sejalan sebagai tidak Islami, sesat, dan sebagainya, sehingga memberi ruang yang luas kepada Islam liberal untuk berijtihad dengan bebas. Agama menurut faham Islam liberal adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada pada posisi sangat privat, sementara urusan publik sepenuhnya merupakan hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi
- Problematika Yang Dihadapi Islam Liberal
- Nikah Beda Agama
Larangan nikah beda agama menurut Islam liberal dipandang sudah tidak relevan lagi, karena sesuai dengan tuntutan Al-Quran bahwa Al-Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Menurut Islam liberal, pada prinsipnya nikah beda agama merupakan wilyah ijtihadi, dan konteks zaman nabi tidak sama dengan konteks zaman sekarang.
- Jilbab Bagi Wanita
menurut Islam liberal jilbab tidak lebih merupakan budaya dan ekspresi lokal partikular Islam dan Arab yang tidak harus diikuti. Yang harus di ikuti adalah nilai-nilai universal yaitu mengenakan pakaian yang memenuhi standarm kepantasan unmum yang bersifat fleksibel, berkembang sesuai dengan perkembangan kebudayaan manusia.
- Wahyu Tidak Terputus
wahyu tidak terhenti pada zaman nabi. Wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Seluruh temuan akal, hasil cipta manusia dipandang sebagai wahyu tuhan, apapun agamanya adalah milik orang islam juga.
- Kebenaran Ada Pada Semua Agama Dan Keyakinan
agama yang benar adalah agama yang mengajarkan kepasrahan dan ketundukan pada tuhan. Islam liberal mendasarkan diri pada kebasan tentang kebenara sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kebiasaan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
- PERSIS (Persatuan Islam)
- Sejarah Persis
Tampilnya jam’iyyah Persatuan islam (Persis) dalam pentas sejarah di Indonesia pada awal abad ke-20 telah memberikan corak dan warna baru dalam gerakan pembaruan Islam. Persis lahir sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat Islam yang tenggelam dalam kejumudan (kemandegan berfikir), terperosok ke dalam kehidupan mistisisme yang berlebihan, tumbuh suburnya khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, musyrik, rusaknya moral, dan lebih dari itu, umat Islam terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya Islam. Situasi demikian kemudian mengilhami munculnya gerakan “reformasi” Islam, yang pada gilirannya, melalui kontak-kontak intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam Indinesia untuk melakukan pembaharuanIslam. Lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan cirri dan karateristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”.
- Tujuan dan Aktifitas Persis
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam’iyyah, Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. Kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis. Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta masyarakat luas.
- Kepemimpinan
Kepemimpinan Persis periode pertama (1923 1942) berada di bawah pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir yang menjalankan roda organisasi pada masa penjajahan kolonial Belanda, dan menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan pemikirannya. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), ketika semua organisasi Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala Jepang. Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan. Persis mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang telah dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan Persis dipegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum Persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dll. Pada masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil; pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan mengarah pada pembentukan negara dan masyarakat dengan ideology Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).
Setelah berakhirnya periode kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary, kepemimpinan Persis dipegang oleh K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang dihadapkan pada berbagai persoalan internal dalam organisasi maupun persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama’ah, Darul Hadits, Inkarus Sunnah, Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar, MA. (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaannya. (Pemuda Persis). Pada masa ini terdapat perbedaan yang ckup mendasar: jika pada awal berdirinya Persis muncul dengan isu-isu kontrobersial yang bersifat gebrakan shock therapy paa masa ini Persis cenderung ke arah low profile yang bersifrat persuasive edukatif dalam menyebarkan faham-faham al-Quran dan Sunnah.
LATAR BELAKANG PEMBAHARUAN DUNIA ISLAM
Mulai abad pertengahan merupakan abad gemilang bagi umat Islam. Abad inilah daerah-daerah Islam meluas di barat melalui Afrika Utara sampai Spanyol, di Timur Melalui Pesia sampai India. Daerah-daerah ini kepada kekuasaan kholifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus, dan terakhir di Bagdad. Dabad ini lahir para pemikir dan ulama besar seperti ;Maliki, Syafi’I, Hanafi, dan Hambali. Dengan lahirnya pemikiran para ulama besar itu, maka ilmu pengetahuan lahir dan berkembang dengan pesat sampai ke puncaknya, baik dalam bidang agama, nono agama maupun dalam bidang kebudayaan lainnya. Memasuki benua Eropa melalui Spanyol dan Sisilia, dan inilah yang menjadi dasar dari ilmu pengetahuan yang menguasai alam pikiran orang barat (Eropa) pada abad selanjutnya. Di pandang dari segi sejarah kebudayaan, maka maka tugas memelihara dan menyebarkan ilmu pengetahuan itu tidaklah kecil nilainya dibanding dengan mencipta ilmu pengetahuan.
Di antara yang mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan Islam adalah:
Pertama, paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan terhadap orang-orang yang suci dan hal lain yang membawa kepada kekufuran.
Kedua, sifat jumud membuat umat Islam berhenti berfikir dan berusaha, umat Islam maju di zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan, oleh karena itu selama umat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berfikir untuk berijtihad, tidak mungkin mengalami kemajuan, untuk itu perlu adanya pembaharuan yang berusaha memberantas kejumudan. Ketiga, umat Islam selalu berpecah belah, maka umat Islam tidaklah akan mengalami kemajuan. Umat Islam maju karena adanya persatuan dan kesatuan, karena adanya persaudaran yang diikat oleh tali ajaran Islam. Maka untuk mempersatukan kembali umat Islam bangkitlah suatu gerakan pembaharuan. Keempat, hasil dari kontak yang terjadi antara dunia Islam dengan Barat. Dengan adanya kontak ini umat Islam sadar bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan Barat, terutama sekali ketika terjadinya peperangan antara kerajaan Usmani dengan negara-negara Eropa, yang biasanya tentara kerajaan Usmani selalu memperoleh kemenangan dalam peperangan, akhirnya mengalami kekalahan-kekalahan di tangan Barat, hal ini membuat pembesar-pembesar Usmani untuk menyelidiki rahasia kekuatan militer Eropa yang aru muncul. Menurut mereka rahasianya terletak pada kekuatan militer modern yang dimiliki Eropa, sehingga pembaharuan dipusatkan di dalam lapangan militer, namun pembaharuan di bidang lain disertakan pula.
Pembaharuan dalam Islam berbeda dengan renaisans Barat. Kalau renaisans Barat muncul dengan menyingkirkan agama, maka pembaharuan dalam Islam adalah sebaliknya, yaitu untuk memperkuat prinsip dan ajaran-ajaran Islam kepada pemeluknya. Memperbaharui dan menghidupkan kembali prinsip-prinsip Islam yang dilalaikan umatnya. Oleh karena itu pembaharuan dalam Islam bukan hanya mengajak maju kedepan untuk melawan segala kebodohan dan kemelaratan tetapi juga untuk kemajuan ajaran-ajaran agama Islam itu. Adapun yang melatarbelakangi pemikiran politik Islam adalah:
Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh faktor internal dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian.
Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan oleh negara-negara Barat tersebut.
Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.
Ketiga hal tersebut ini juga memberi pengaruh pada pemikiran politik Islam yakni banyak di antara para pemikir politik Islam tidak mengetengahkan konsepsi tentang system politik Islam, tetapi lebih kepada konsepsi perjuangan politik umat Islam terhadap kezaliman penguasa, lebih-lebih terhadap imperialis dan kolonialis Barat. Perhatian mereka lebih banyak dipusatkan pada perjuangan pembebasan dunia Islam dari cengkraman atau dominasi Barat. Kalau gerakan pembaharuan umat Islam di Turki pada akhirnya menimbulkan Negara Turki yang bersifat sekuler, gerakan pembaharuan umat Islam di India melahirkan Negara Pakistan yang mempunyai agama sebagai dasar. Gerakan yang diusung oleh tiga tokoh pembaharu, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha, dikenal dengan gerakan Salafiyah yaitu suatu aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama Islam. Pemerintahan yang ideal menurut Muhammad Abduh kurang lebih seperti yang diangankan oleh ahli-ahli hukum pada abad pertengahan, penguasa yang adil, yang memerintah sesuai dengan hukum dan bermusyawarah dengan para pemimpin rakyat.
Kemunculan ide pembaruan dilatarbelakangi oleh suatu proses yang panjang. Sejak awal abad ke-2 H (8M). Islam dalam perkembangan dakwahnya yang makin meluas mengharuskan Islam berinteraksi dengan peradaban dan agama lain. Sehingga timbul pergolakan pemikiran antara Islam dengan pemikiran asing. Hal ini mendorong para pemikir Islam untuk membahas aqidah Islam dari berbagai segi. Termasuk mengemukakan argumentasi untuk mempertahankan aqidah Islam ketika menghadapi aqidah lain (terutama Nashrani dengan menggunakan cara berfikir filsafat Yunani). Akhirnya untuk menghadapi orang-orang Nashrani, umat Islam pun mempelajari filsafat untuk membantah tuduhan-tuduhan terhadap aqidah Islam, yang pada perkembangannya disebut dengan ilmu kalam.
Ilmu kalam ini dikembangkan oleh generasi setelah shahabat (khalaf) yang berbeda dengan generasi shahabat (salaf). Kalangan khalaf telah membahas lebih jauh tentang dzat Allah dengan menggunakan metode pembahasan filosof Yunani. Metode ini menjadikan akal sebagai dasar pemikiran untuk membahas segala hal tentang iman.
Para pemikir Islam berusaha mempertemukan Islam dengan pemikiran filsafat ini. Cara berfikir ini memunculkan interpretasi dan penafsiran yang menjauhkan sebagian arti dan hakekat Islam yang sebenarnya. Hal ini ditambahkan dengan masuknya orang-orang munafik ke tubuh umat Islam. Mereka merekayasa pemikiran dan pemahaman yang bukan berasal dari Islam dan justru menimbulkan saling pertentangan. Terlebih lagi kelalaian kaum muslimin terhadap penguasaan bahasa Arab dan pengembangan Islam yang terjadi sejak abad ke-7 H, mengakibatkan Islam semakin mengalami kemerosotan. Terkikisnya pemahaman Islam yang hakiki terus berlanjut sampai awal abad ke-13 H. Saat itu umat Islam mulai mengupayakan pembaruan untuk memahami syariat Islam yang akan diterapkan dalam masyarakat. Islam ditafsirkan tidak semata-mata selaras dengan isi kandungan nash-nash. Disaat kaum muslimin mengalami kemerosotan berfikir, cara pandang mereka mulai teracuni oleh cara pandang asing. Tsaqofah Islam kian melemah. Upaya-upaya pembaruan semakin merebak. Para pembaru memandang perlunya mengatasi masalah dengan melakukan interpretasi hukum-hukum Islam agar sesuai dengan kondisi yang ada. Mereka mengeluarkan kaidah-kaidah umum dan hukum-hukum terperinci sesuai dengan pandangan tersebut. Bahkan mereka membuat kaedah umum yang tidak berdasarkan perspektif wahyu (Al-Quran dan Hadits).
Sampai dengan perempat ketiga abad ini, gerakan Islam lebih merupakan pembaharuan dalam pengertian revitalitas atau semacam romantisme. Hampir seluruh gerakan Islam dimotori oleh semangat menghidupkan kembali tradisi Islam Klasik sebagai reaksi atas kebangkrutan kekuasaan politik Islam di satu sisi sementara didomonasi politik dan intelektual Barat modern merupakan fenomena mondial. Gerakan Islam baik di Timur Tengah maupun beberapa kawasan Asia seperti India bertumpu pada emansipasi politik dan intelektual dalam romantisme dan revitalisasi di atas Walaupun kecendrungan di atas telah berhasil membebaskan beberapa kawasan Islam dari kolonialisme dan membangkitkan kembali kepercayaan diri dunia Islam, namun pembaharuan Islam bersifat eksternal. Di sisi lain, Negara-negara baru Islam pun berhadapan dengan realitas baru tumbuhnya Negara bangsa yang merupakan wacana baru pemikiran Islam.
Tanpa suatu tradisi intelektual yang mampu berdialog dengan peradaban modern, Negara-negara baru Islam mulai berhadapan dengan bagaimana membangun tata kehidupan sebagai realisasi semangat dan pesan universal Islam. Pengembangan kehidupan sosial muslimpun berhadapan dengan realitas obyektif yang kurang lebih serupa. Bagaimana membangun peradaban Islam dalam masyarakat modern, sesungguhnya merupakan agenda gerakan Islam masa depan.
Di antara yang mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan Islam adalah:
Pertama, paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan terhadap orang-orang yang suci dan hal lain yang membawa kepada kekufuran.
Kedua, sifat jumud membuat umat Islam berhenti berfikir dan berusaha, umat Islam maju di zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan, oleh karena itu selama umat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berfikir untuk berijtihad, tidak mungkin mengalami kemajuan, untuk itu perlu adanya pembaharuan yang berusaha memberantas kejumudan. Ketiga, umat Islam selalu berpecah belah, maka umat Islam tidaklah akan mengalami kemajuan. Umat Islam maju karena adanya persatuan dan kesatuan, karena adanya persaudaran yang diikat oleh tali ajaran Islam. Maka untuk mempersatukan kembali umat Islam bangkitlah suatu gerakan pembaharuan. Keempat, hasil dari kontak yang terjadi antara dunia Islam dengan Barat. Dengan adanya kontak ini umat Islam sadar bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan Barat, terutama sekali ketika terjadinya peperangan antara kerajaan Usmani dengan negara-negara Eropa, yang biasanya tentara kerajaan Usmani selalu memperoleh kemenangan dalam peperangan, akhirnya mengalami kekalahan-kekalahan di tangan Barat, hal ini membuat pembesar-pembesar Usmani untuk menyelidiki rahasia kekuatan militer Eropa yang aru muncul. Menurut mereka rahasianya terletak pada kekuatan militer modern yang dimiliki Eropa, sehingga pembaharuan dipusatkan di dalam lapangan militer, namun pembaharuan di bidang lain disertakan pula.
Pembaharuan dalam Islam berbeda dengan renaisans Barat. Kalau renaisans Barat muncul dengan menyingkirkan agama, maka pembaharuan dalam Islam adalah sebaliknya, yaitu untuk memperkuat prinsip dan ajaran-ajaran Islam kepada pemeluknya. Memperbaharui dan menghidupkan kembali prinsip-prinsip Islam yang dilalaikan umatnya. Oleh karena itu pembaharuan dalam Islam bukan hanya mengajak maju kedepan untuk melawan segala kebodohan dan kemelaratan tetapi juga untuk kemajuan ajaran-ajaran agama Islam itu. Adapun yang melatarbelakangi pemikiran politik Islam adalah:
Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh faktor internal dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian.
Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan oleh negara-negara Barat tersebut.
Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.
Ketiga hal tersebut ini juga memberi pengaruh pada pemikiran politik Islam yakni banyak di antara para pemikir politik Islam tidak mengetengahkan konsepsi tentang system politik Islam, tetapi lebih kepada konsepsi perjuangan politik umat Islam terhadap kezaliman penguasa, lebih-lebih terhadap imperialis dan kolonialis Barat. Perhatian mereka lebih banyak dipusatkan pada perjuangan pembebasan dunia Islam dari cengkraman atau dominasi Barat. Kalau gerakan pembaharuan umat Islam di Turki pada akhirnya menimbulkan Negara Turki yang bersifat sekuler, gerakan pembaharuan umat Islam di India melahirkan Negara Pakistan yang mempunyai agama sebagai dasar. Gerakan yang diusung oleh tiga tokoh pembaharu, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha, dikenal dengan gerakan Salafiyah yaitu suatu aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama Islam. Pemerintahan yang ideal menurut Muhammad Abduh kurang lebih seperti yang diangankan oleh ahli-ahli hukum pada abad pertengahan, penguasa yang adil, yang memerintah sesuai dengan hukum dan bermusyawarah dengan para pemimpin rakyat.
Kemunculan ide pembaruan dilatarbelakangi oleh suatu proses yang panjang. Sejak awal abad ke-2 H (8M). Islam dalam perkembangan dakwahnya yang makin meluas mengharuskan Islam berinteraksi dengan peradaban dan agama lain. Sehingga timbul pergolakan pemikiran antara Islam dengan pemikiran asing. Hal ini mendorong para pemikir Islam untuk membahas aqidah Islam dari berbagai segi. Termasuk mengemukakan argumentasi untuk mempertahankan aqidah Islam ketika menghadapi aqidah lain (terutama Nashrani dengan menggunakan cara berfikir filsafat Yunani). Akhirnya untuk menghadapi orang-orang Nashrani, umat Islam pun mempelajari filsafat untuk membantah tuduhan-tuduhan terhadap aqidah Islam, yang pada perkembangannya disebut dengan ilmu kalam.
Ilmu kalam ini dikembangkan oleh generasi setelah shahabat (khalaf) yang berbeda dengan generasi shahabat (salaf). Kalangan khalaf telah membahas lebih jauh tentang dzat Allah dengan menggunakan metode pembahasan filosof Yunani. Metode ini menjadikan akal sebagai dasar pemikiran untuk membahas segala hal tentang iman.
Para pemikir Islam berusaha mempertemukan Islam dengan pemikiran filsafat ini. Cara berfikir ini memunculkan interpretasi dan penafsiran yang menjauhkan sebagian arti dan hakekat Islam yang sebenarnya. Hal ini ditambahkan dengan masuknya orang-orang munafik ke tubuh umat Islam. Mereka merekayasa pemikiran dan pemahaman yang bukan berasal dari Islam dan justru menimbulkan saling pertentangan. Terlebih lagi kelalaian kaum muslimin terhadap penguasaan bahasa Arab dan pengembangan Islam yang terjadi sejak abad ke-7 H, mengakibatkan Islam semakin mengalami kemerosotan. Terkikisnya pemahaman Islam yang hakiki terus berlanjut sampai awal abad ke-13 H. Saat itu umat Islam mulai mengupayakan pembaruan untuk memahami syariat Islam yang akan diterapkan dalam masyarakat. Islam ditafsirkan tidak semata-mata selaras dengan isi kandungan nash-nash. Disaat kaum muslimin mengalami kemerosotan berfikir, cara pandang mereka mulai teracuni oleh cara pandang asing. Tsaqofah Islam kian melemah. Upaya-upaya pembaruan semakin merebak. Para pembaru memandang perlunya mengatasi masalah dengan melakukan interpretasi hukum-hukum Islam agar sesuai dengan kondisi yang ada. Mereka mengeluarkan kaidah-kaidah umum dan hukum-hukum terperinci sesuai dengan pandangan tersebut. Bahkan mereka membuat kaedah umum yang tidak berdasarkan perspektif wahyu (Al-Quran dan Hadits).
Sampai dengan perempat ketiga abad ini, gerakan Islam lebih merupakan pembaharuan dalam pengertian revitalitas atau semacam romantisme. Hampir seluruh gerakan Islam dimotori oleh semangat menghidupkan kembali tradisi Islam Klasik sebagai reaksi atas kebangkrutan kekuasaan politik Islam di satu sisi sementara didomonasi politik dan intelektual Barat modern merupakan fenomena mondial. Gerakan Islam baik di Timur Tengah maupun beberapa kawasan Asia seperti India bertumpu pada emansipasi politik dan intelektual dalam romantisme dan revitalisasi di atas Walaupun kecendrungan di atas telah berhasil membebaskan beberapa kawasan Islam dari kolonialisme dan membangkitkan kembali kepercayaan diri dunia Islam, namun pembaharuan Islam bersifat eksternal. Di sisi lain, Negara-negara baru Islam pun berhadapan dengan realitas baru tumbuhnya Negara bangsa yang merupakan wacana baru pemikiran Islam.
Tanpa suatu tradisi intelektual yang mampu berdialog dengan peradaban modern, Negara-negara baru Islam mulai berhadapan dengan bagaimana membangun tata kehidupan sebagai realisasi semangat dan pesan universal Islam. Pengembangan kehidupan sosial muslimpun berhadapan dengan realitas obyektif yang kurang lebih serupa. Bagaimana membangun peradaban Islam dalam masyarakat modern, sesungguhnya merupakan agenda gerakan Islam masa depan.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas pemakalah dapat menyimpulkan bahwa:
Pembaharuan Islam adalah upaya untuk menyesuiakan paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan terknologi odern. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam ukan berarti mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya.
Adapun yang mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan Islam adalah:
Pertama, paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan terhadap orang-orang yang suci dan hal lain yang membawa kepada kekufuran.
Kedua, sifat jumud membuat umat Islam berhenti berfikir dan berusaha, umat Islam maju di zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan, oleh karena itu selama umat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berfikir untuk berijtihad, tidak mungkin mengalami kemajuan, untuk itu perlu adanya pembaharuan yang berusaha memberantas kejumudan.
Ketiga, umat Islam selalu berpecah belah, maka umat Islam tidaklah akan mengalami kemajuan.
Pembaharuan Islam adalah upaya untuk menyesuiakan paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan terknologi odern. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam ukan berarti mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya.
Adapun yang mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan Islam adalah:
Pertama, paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan terhadap orang-orang yang suci dan hal lain yang membawa kepada kekufuran.
Kedua, sifat jumud membuat umat Islam berhenti berfikir dan berusaha, umat Islam maju di zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan, oleh karena itu selama umat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berfikir untuk berijtihad, tidak mungkin mengalami kemajuan, untuk itu perlu adanya pembaharuan yang berusaha memberantas kejumudan.
Ketiga, umat Islam selalu berpecah belah, maka umat Islam tidaklah akan mengalami kemajuan.
Keempat, hasil dari kontak yang terjadi antara dunia Islam dengan Barat.
respect gan :D
BalasHapus