Data Pribadi Saya

Nama Pemilik: Ig Fandy Jayanto

Alamat Rumah: Seputih Banyak, Kab. Lampung Tengah


Riwayat Pendidikan:

SD N 1 Sumber Baru
SMP N 1 Seputih Banyak
SMA Paramarta 1 {jurusan Ipa 1}
S1 di UM Metro {jurusan FKIP Matematika}

sedang menempuh pendidikan di Universitas Lampung (Unila)

Pekerjaan:
Guru di SMP Paramarta 1 Seputih Banyak
.........
.........
.........


Rabu, 20 Juni 2012

Deforestasi ditinjau dari aspek sosial dan ekonomi dan Perubahan iklim sebagai ancaman negera agraris.



1.    Deforestasi ditinjau dari aspek sosial dan ekonomi

Hutan termasuk sumber daya alam yang bersifat dapat diperbaharui, dan hutan merupakan tempat tersediannya organisme yang secara alami telah sesuai (adaptif) dengan lingkungannya, sehingga hutan perlu dilindungi dan dilestarikan. Kerusakan lingkungan karena campur tangan manusia antara lain pembangunan permukiman, penerapan ekstensifikasi pertanian, dan penebangan hutan. Hutan merupakan sumber daya alam yang penting bagi makhluk hidup. Bagi tumbuhan dan hewan, hutan sebagai tempat hidup. Adapun bagi manusia, hutan sebagai penyedia bahan baku, sumber plasma nutfah, dan sistem penunjang kehidupan.
Dalam memanfaatkan hutan demi kepentingan pribadi atau demi memenuhi kebutuhannya  manusia boleh-boleh saja memanfaatkan hutan yang ada. Dengan catatan setelah memanfaatkan hutan, kita tidak boleh lalai begitu saja, harus ada rasa bertanggung jawab dalam pemulihan hutan tersebut. Seperti halnya dalam aspek ekonomi, karena dalam pemenuhannya ini merupakan hal yang pokok, dan jika tidak ada alternatif lain untuk menggantikannya,  hutan boleh untuk dimanfaatkan asalkan tidak dieksploitasi sehingga hutan masih slalu ada untuk kita. Kita harus ramah lingkungan, maksudnya di sini yaitu misalnya setelah kita menebang pohon maka dengan sadar diri dan rasa bertanggung jawab pohon tersebut kita ganti dengan bibit pohon yang sama atau pohon lain. Bagaimana jika kita tidak perduli terhadap apa yang telah kita lakukan dan hanya mementingkan kepentingan pribadi? Maka beberapa hal yang dapat terjadi yaitu kita tidak dapat memanfaatkan hutan kembali untuk memenuhi kebutuhan kita. Kemudian hal yang lebih buruk dari itu bisa saja menyebabkan bencana alam setelah terjadi deforestasi hutan akibat perbuatan kita seperti banjir, tanah longsor, pemanasan global, perubahan iklim, dan sebagainya yang pasti semua itu akan merugikan kita sebagai manusia yang memiliki banyak kebutuhan maupun kepentingan.
Hutan yang telah dikemas menjadi sedemikian rupa  misalnya hutan dijadikan tempat rekreasi itu merupakan ide bagus apabila dalam pengelolaannya selalu mengedepankan keaslian atau kealamian hutan tanpa merusaknya sedikitpun. Untuk memenuhi kebutuhan kita, tidak cukup hanya dengan materi saja, tetapi kebutuhan rekreasi juga penting dalam menyegarkan otak yang mungkin membebani bagi kita. Ditinjau dari aspek sosial tersebut hutan bisa saja mengalami deforestasi, ketika manusia-manusia yang memanfaatkannya begitu tidak ramah terhadap hutan tersebut. Dan  pengubahan fungsi hutan yang menyababkan deforestasi ini akan bisa berakibat buruk bagi kita. Tetapi  manakala kita sadar untuk menyayangi hutan tersebat dan bisa  menjaga ketat agar hutan tetap alami, mudah-mudahan hutan tersebut akan berdampak baik bagi kita. Dalam hal ini pemerintah juga harus bersikiap tegas demi kebaikan bersama, dan demi persahabatan antara manusia dan hutan.

22.      Perubahan iklim sebagai ancaman negera agraris.
Fenomena perubahan iklim di Indonesia sendiri terlihat dari data iklim rata-rata Indonesia pada abad ke-20 yang menunjukkan terjadinya peningkatan suhu permukaan rata-rata sekitar rata-rata 0,3% sejak tahun 1990 dengan tahun 1990-an sebagai dekade terpanas (Hulme dan Sheard 1999 dalam Delinom dan Marganingrum 2007). Indikasi lain bahwa perubahan iklim telah terjadi teramati dari misalnya : peningkatan suhu rata-rata bulanan maupun perubahan pola rata-rata curah hujan bulanan dari beberapa stasiun pengamat cuaca di Indonesia, peningkatan frekuensi dan intensitas iklim ekstrim, dan terjadinya pergeseran musim tanam di beberapa wilayah di Indonesia (Santoso dkk. 2004, Irawan 2002, Amien 2005 dalam Delinom dan Marganingrum 2007).

Hubungan antara Pengurangan Luas Hutan dengan Perubahan Iklim
Pemantauan perubahan iklim dari tahun ke tahun terus dilakukan oleh IPCC. Pada April 2007, Kelompok kerja I IPCC melalui Laporan Penilaian Ke Empat (Fourth Assesment Report) menyampaikan bahwa berdasarkan berbagai penelitian mengenai peningkatan temperature sejak pertengahan abad 20 disimpulkan penyebab kenaikan suhu adalah peningkatan konsentrasi gas rumah kaca akibat kegiatan manusia (antropogenik). Kenaikan konsentrasi gas CO2 di satu sisi disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara, dan bahan bakar organik lainnya yang menunjang aktivitas manusia, sedangkan di sisi yang lain, jumlah vegetasi yang menggunakan CO2 semakin sedikit.
Di Indonesia, kegiatan pembabatan hutan dan perubahan tata guna lahan di suatu daerah memberi konstribusi terbesar dalam peningkatan emisi gas rumah kaca. Hal ini jelas karena terkait fungsi vegetasi sebagai salah satu unit dari ekosistem hutan yang memegang peranan penting salah satunya sebagai penyerap CO2. Kementerian Lingkungan Hidup melaporkan bahwa tingkat emisi CO2 dari kegiatan pembabatan hutan dan perubahan tata guna lahan telah mencapai 64% (Susanta et al. 2007).

Ancaman Terhadap Negara Agraris
Saat ini perubahan iklim merupakan tantangan paling serius yang dihadapi dunia. Semakin banyak terjadi fenomena penyimpangan cuaca seperti badai, angin ribut, hujan deras, serta perubahan musim tanam. Belum lagi ancaman badai tropis, tsunami, banjir, longsor, kekeringan, meningkatnya potensi kebakaran hutan, punahnya berbagai jenis ikan dan rusaknya terumbu karang, sertakrisis air bersih, bahkan peningkatan penyebaran penyakit parasitik seperti Malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD), serta terjadi peningkatan insiden alergi, penyakit pernafasan dan radang selaput otak ((encephalitis). (Vivi , 2008 )
Perubahan iklim diperkirakan akan mengancam ketersediaan bahan makanan di seluruh penjuru dunia pada tahun 2100. Menurut Prof David Battisti dari University of Washington, Seattle, pemanasan global akan mengurangi produksi pertanian baik di wilayah tropis maupun subtropis.
 Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), mengeluarkan peringatan bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global dapat menurunkan hasil pangan dan menimbulkan kelaparan diberbagai belahan bumi ini. Akibat dari pemanasan global ini bukan hanya menurunkan produksi pangan, tetapi dapat mengakibatkan menurunnya luas lahan pertanian dan meningkatkan berbagai hama dan penyakit.
Global warming sangat mempengaruhi prespitasi, evaporasi, water run-off, kelembaban tanah dan variasi iklim yang sangat mencolok secara keseluruhan yang dapat mengancam keberhasilan produksi pangan. Kajian yang dilakukan oleh National Academy ofScience/NAS yang dilakukan pada tahun 2007 di bidang pertanian mengenai dampakperubahan iklim.
  Indonesia adalah negara agraris dengan tingkat produktivitas yang rawan mengalami gangguan akibat dampak global warming ini. Sementara itu, secara global, dengan luas wilayah hutan tropis terbesar ketiga di dunia, posisi Indonesia sangat menentukan kondisi iklim dunia.
            Di Indonesia, pengaruh pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim, antara lain terlihat dari curah hujan di bawah normal, sehingga masa tanam terganggu, dan meningkatnya curah hujan di sebagian wilayah. Kondisi tata ruang, daerah resapan air, dan sistem irigasi yang buruk semakin memicu terjadinya banjir, termasuk di area persawahan. Sebagai gambaran, pada 1995 hingga 2005, total tanaman padi yang terendam banjir berjumlah 1.926.636 hektare. Dari jumlah itu, 471.711 hektare di antaranya mengalami puso. Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun waktu tersebut berjumlah 2.131.579 hektare, yang 328.447 hektare di antaranya gagal panen.
Rosamond Naylor, Direktur Program Ketahanan Pangan dan Lingkungan dari Stanford University, melansir anomali cuaca El Nino, yang diperburuk oleh pemanasan global, akan menimbulkan kerugian bagi produksi beras di kawasan Jawa-Bali karena mundurnya musim hujan. Diperkirakan pada masa kekeringan Juli-September nanti, tanaman pangan terancam mati tanpa irigasi memadai. Sebelumnya, pada 2002, Rasamond Naylor, Water Falcon, dan kawan-kawan telah melakukan penelitian tentang "penggunaan data klimatologi El Nino/Osilasi Selatan untuk memprediksi produksi dan perencanaan kebijakan pangan Indonesia". Penelitian ini menyebutkan bahwa anomali iklim pada El Nino dapat mengurangi produksi padi hingga 4,8 juta ton gabah atau setara dengan 2,88 juta ton beras.
Panel on Climate Change dalam laporan yang berjudul "Climate Change Impacts, Adaptation and Vulnerability" pada 6 April 2007 menyimpulkan perubahan iklim semakin mengancam produksi pangan Indonesia.
Dampak global warming  ( perubahan iklim )sudah nyata pengaruhnya terhadap pertanian berupa penurunan produksi pangan  kemudian tentunya  akan berimbas pada ketersedian pangan nasional . Sehingga kedepannya sudah menjadi keharusan / komitmen bagi pemerintah untuk intensif dalam memperhatikan akan permasalahan  hal ini dan kita nantinya  bisa lepas dari  ancaman kekurangan stok pangan di masa mendatang.
Degradasi lahan pertanian akibat perubahan iklim, tidak hanya berupa erosi tanah, namun sudah merambah ke bentuk-bentuk lain seperti banjir, longsor, pencemaran, dan pembakaran lahan, sudah sering terjadi dalam intensitas dan kualitas yang tinggi. Hal ini merupakan ancaman bagi kelangsungan sistem pertanian, dan tantangan bagi upaya konservasinya.
Alternatif  Solusi
Mengantisipasi perubahan iklim, pemerintah perlu turun tangan dalam pemantauan sekaligus mendampingi petani. Petani perlu diberikan petunjuk yang jelas. Dampak perubahan iklim ekstrem ini telah membuat petani sulit untuk bercocok tanam, hama juga menjadi banyak. Dengan adanya pemantauan dan pendampingan pada petani, maka dapat segera ditanggulangi dengan pemberian obat-obatan dan penyemprotan. Begitu pula jika terkena banjir, pemerintah perlu turun tangan langsung membantu petani mengolah kembali lahan mereka dengan menyiapkan pompa-pompa air di waktu kemarau.
Perbaikan sarana irigasi juga harus segera dilakukan, begitu pula dengan jalan dan alat-alat pasca panen harus segera direvitalisasi. Rekayasa varietas yang mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim juga harus ditingkatkan. Saat ini dibutuhkan varietas yang mampu bertahan dan berproduksi dalam kondisi kemarau, genangan tinggi dan salinitas tinggi. Benih-benih berkualitas yang tahan perubahan iklim tersebut perlu diberikan secara gratis dan penyuluh pertanian harus bergerak lebih efektif.
Dari luas daratan Indonesia sekitar 190 juta ha, terdapat sekitar 101 juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian tanpa mengganggu keseimbangan ekologis, sedangkan yang sudah dijadikan lahan pertanian baru sekitar 64 juta ha. Dengan demikian masih terbuka peluang untuk perluasan pertanian, namun memerlukan upaya keagrariaan, sosial-ekonomi dan teknis, mengingat lahan tersebut diklaim sebagai kawasan hutan, HGU, milik adat, atau milik pribadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang Di Blogger Ignasius Fandy Jayanto