Data Pribadi Saya

Nama Pemilik: Ig Fandy Jayanto

Alamat Rumah: Seputih Banyak, Kab. Lampung Tengah


Riwayat Pendidikan:

SD N 1 Sumber Baru
SMP N 1 Seputih Banyak
SMA Paramarta 1 {jurusan Ipa 1}
S1 di UM Metro {jurusan FKIP Matematika}

sedang menempuh pendidikan di Universitas Lampung (Unila)

Pekerjaan:
Guru di SMP Paramarta 1 Seputih Banyak
.........
.........
.........


Selasa, 30 Agustus 2011

MEMBERDAYAKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS


Critical Thinking as a Core Skill, the Ability to Think Critically
is a Key Skill for Academic Success
(Wal, 2003; Northedge, 2005)


Oleh: fandy

A. Pengantar
Paradigma pembelajaran meliputi teacher centered dan student centered. Paradigma teacher centered merupakan paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru. Paradigma ini dianggap sebagai pembelajaran deduktif tradisional, sedangkan paradigma student centered merupakan paradigma pembelajaran ang berpusat pada siswa. Paradigma ini sering disebut sebagai sebuah pembelajaran dengan pendekatan berorientasi pada proses (process oriented approach). Pembelajaran yang umum digunakan di Asia Tenggara menggunakan paradigma teacher centered. Pembelajaran student centered atau pembelajaran berorientasi proses masih jarang digunakan (Bourke, 2004). Pembelajaran student centered membutuhkan proses belajar dan pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan kurikulum yang mendukung pembelajaran. Untuk mengembangkan pebelajar yang mandiri (self-regulated learner) yang mampu memberdayakan kemampuan berpikir kritis, paradigma student centered lebih tepat digunakan (Noor, 2007). Kebanyakan penulis berpendapat bahwa berpikir kritis berkaitan dengan aktivitas “tingkat tinggi” seperti kemampuan dalam memecahakan masalah, menetapkan keputusan, berpikir reflektif, berpikir kreatif, dan mengambil kesimpulan secara logis (Nickerson, 1998). Menurut Shukor (2001) ada dua macam keterampilan berpikir, yaitu berpikir kritis dan berpikir kreatif. Sedangkan Cotton (2003) mengusulkan istilah lain untuk kemampuan berpikir kritis, yaitu higher order thinking skills (keterampilan berpikir tingkat tinggi).
1. Deskripsi Kemampuan Berpikir Kritis
Berpikir kritis adalah proses yang melibatkan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan penalaran. Menurut Ennis (1985) serta Fogarty dan McTighe (1993) berpikir kritis merupakan cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar untuk menentukan apa yang akan dikerjakan dan diyakini. Berpikir menggunakan proses secara simbolik yang menyatakan objek-objek nyata, kejadian-kejadian dan penggunaan pernyataan simbolik untuk menemukan prinsip-prinsip mendasar suatu objek dan kejadian (Arends, 2000). Di dalam proses berpikir berlangsung kejadian menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasar pada inferensi atau pertimbangan yang seksama (Ibrahim dan Nur, 2000). Disampaikan oleh Diestler (1994) bahwa dengan berpikir kritis, orang menjadi memahami argumentasi berdasarkan perbedaan nilai, memahami adanya inferensi dan mampu menginterpretasi, mampu mengenali kesalahan, mampu menggunakan bahasa dalam berargumen, menyadari dan mengendalikan egosentris dan emosi, dan responsif terhadap pandangan yang berbeda.
Kemampuan berpikir kritis merupakan proses kognitif untuk memperoleh pengetahuan. Liliasari (2000) dan Krulik dan Rudnick (1999) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan aktivitas berpikir tingkat tinggi. Berpikir kritis ini mengaktifkan kemampuan melakukan analisis dan evaluasi bukti, identifikasi pertanyaan, kesimpulan logis, memahami implikasi argumen (Friedrichsen, 2001). Lebih lanjut McMurarry et al (1991) menyampaikan bahwa berpikir kritis merupakan kegiatan yang sangat penting untuk dikembangkan di sekolah, guru diharapkan mampu merealisasikan pembelajaran yang mengaktifkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis pada siswa. Bahkan Schaferman (1999) menyatakan bahwa perencanaan pembelajaran IPA oleh guru untuk pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa adalah keharusan. Hal ini didukung oleh penyataan Friedrichsen (2001) dan King (1994) bahwa kemampuan berpikir kritis seyogyanya dikembangkan sejak usia dini. Dinyatakan oleh Presseisen (1985) bahwa agar siswa memiliki keterampilan intelektual tingkat tinggi harus dilatih keterampilan kritis, kreatif, pemecahan masalah, dan membuat keputusan. Selanjutnya, disampaikan oleh Ennis (1993) bahwa evaluasi terhadap kemampuan berpikir kritis antara lain bertujuan untuk mendiagnosis tingkat kemampuan siswa, memberi umpan balik keberanian berpikir siswa, dan memberi motivasi agar siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya.
Arends (2004), Ibrahim dan Nur (2000) menjelaskan mengenai berpikir tinggi sebagai berikut: 1) Tidak algoritmik, alur tindakan tidak dapat ditetapkan sebelumnya, 2) cenderung ke arah yang kompleks, sehingga keseluruhan alurnya tidak dapat diamati dari satu sudut pandang, 3) seringkali menghasilkan banyak solusi, masing-masing dengan keuntungan dan kerugian dibandingkan hanya dengan solusi tunggal, 4) melibatkan pertimbangan dan interpretasi, 5) melibatkan pengaturan diri tentang proses berpikir, 6) merupakan sebuah kerja keras, ada pergerakan mental yang besar saat melakukan berbagai jenis elaborasi dan pertimbangan yang dibutuhkan.
Sudut pandang berpikir kritis disampaikan oleh Eggen dan Kauchak (1996) bahwa berpikir kritis adalah: 1) sebuah keinginan untuk mendapatkan informasi, 2) sebuah kecenderungan untuk mencari bukti, 3) keinginan untuk mengetahui kedua sisi dari seluruh permasalahan, 4) sikap dari keterbukaan pikiran, 5) kecenderungan untuk tidak mengeluarkan pendapat (menyatakan penilaian), 7) menghargai pendapat orang lain, 8) toleran terhadap keambiguan. Disampaikan oleh Lewis dan Smith (1993) bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan bagian dari kemampuan berpikit tingkat tinggi, setidaknya ada tiga makna berpikir kritis, yaitu: 1) berpikir kritis sebagai suatu pemecahan masalah, 2) berpikir sebagai evaluasi dan pertimbangan, dan 3) berpikir kritis sebagai kombinasi pemecahan masalah, evaluasi dan pertimbangan.
B. Perlunya Budaya Berpikir Kritis
Ada beberapa alasan perlunya membentuk budaya berpikir kritis di masyarakat. Salah satunya adalah untuk menghadapi perubahan dunia yang begitu pesat yang selalu muncul pengetahuan baru tiap harinya, sementara pengetahuan yang lama ditata dan dijelaskan ulang. Di zaman perubahan yang pesat ini, prioritas utama dari sebuah sistem pendidikan adalah mendidik anak-anak tentang bagaimana cara belajar dan berpikir kritis (Shukor, 2001). Beberapa karakteristik dari era pengetahuan (knowledge age) adalah:
1. Kehidupan, masyarakat, dan ekonomi menjadi lebih kompleks.
2. Lapangan kerja menipis, dibanding era sebelumnya,
3. Ilmu pengetahuan dan informasi, tanah, buruh dan modal sebagai masukan paling utama dalam sistem produksi modern.
Wilson (2000) mengemukakan beberapa alasan tentang perlunya keterampilan berpikir kritis, yaitu:
1. Pengetahuan yang didasarkan pada hafalan telah didiskreditkan; individu tidak akan dapat menyimpan ilmu pengetahuan dalam ingatan mereka untuk penggunaan yang akan datang.
2. Informasi menyebar luas begitu pesat sehingga tiap individu membutuhkan kemampuan yang dapat disalurkan agar mereka dapat mengenali macam-macam permasalahan dalam konteks yang berbeda pada waktu yang berbeda pula selama hidup mereka.
3. Kompleksitas pekerjaan modern menuntut adanya staf pemikir yang mampu menunjukkan pemahaman dan membuat keputusan dalam dunia kerja.
4. Masyarakat modern membutuhkan individu-individu untuk menggabungkan informasi yang berasal dari berbagai sumber dan membuat keputusan.
Dengan kata lain, pekerja yang memasuki tempat kerja di masa mendatang harus benar-benar memiliki berbagai kemampuan yang akan menjadikan mereka pemikir sistem dan orang yang tak pernah henti belajar sepanjang hidup mereka (Shukor, 2001). Alasan lain perlunya budaya berpikir adalah bahwa dunia yang mengekspresikan ketertarikan dan kepedulian mereka pada kemampuan pembelajaran berpikir karena mereka mendapati ketidakmampuan lulusan universitas dalam membuat keputusan sendiri dengan mandiri (Phillips, 2001). Karena kesejahteraan suatu negara bergantung pada masyaratnya, maka dipandang perlu dan masuk akal jika akal pikiran menjadi fokus dari perkembangan pendidikan (Shukor, 2001).
Menurut Tishman et al (1995), budaya berpikir adalah transformasi budaya dari suatu kelas menjadi budaya berpikir. Pembelajaran berpikir tersebut bertujuan untuk mempersiapkan masa depan diri siswa dalam pemecahan masalah, pengambilan keputusan yang dipikirkan secara matang, dan pembelajaran tanpa henti sepanjang hayat (life long education). Kelas berpikir ditujukan untuk belajar dan mengajar di lingkungan dengan budaya berpikir. Di lingkungan kelas, ada beberapa hal yang berkolaborasi, seperti bahasa, nilai-nilai, harapan, dan kebiasaan, untuk mengekspresikan dan memperkuat pemikiran yang kuat (Tishman et al, 1995). Budaya berpikir meliputi bahasa berpikir, watak berpikir, manajemen mental, semangat berstrategi, tingkat pengetahuan yang tinggi, dan pembelajaran untuk menyalurkan ilmu.
Satu dekade terakhir, banyak negara Asia Tenggara yang berusaha merancang ulang sistem pendidikan mereka dalam rangka menghasilkan siswa-siswa pemikir untuk masa depan meraka. Misalnya, di tahun 1990, Singapura memulai “Thinking School, Learning Nation”, Malaysia dengan “Smart Schools”, dan Brunei Darussalam “Thoughtful Schools” (Sim, 2001; Chang, 2001; dan Shukor, 2001).
C. Pentingnya Berpikir Kritis dalam Pembelajaran
Keterkaitan berpikir kritis dalam pembelajaran adalah perlunya mempersiapkan siswa agar menjadi pemecah masalah yang tangguh, pembuat keputusan yang matang, dan orang yang tak pernah berhenti belajar. Penting bagi siswa untuk menjadi seorang pemikir mandiri sejalan dengan meningkatnya jenis pekerjaan di masa yang akan datang yang membutuhkan para pekerja handal yang memiliki kemampuan berpikir kritis. Selama ini, kemampuan berpikir masih belum merasuk ke jiwa siswa sehingga belum dapat berfungsi maksimal di masyarakat yang serba praktis saat ini. Sebuah laporan di Malaysia menyebutkan bahwa pembelajaran kognisi tingkat tinggi membantu siswa untuk menjadi pebelajar mandiri, mengembangkan keterampilan berpikir siswa lebih umum dinyatakan sebagai tujuan pendidikan saja. Rajendran (2002) menemukan kurangnya kemampuan siswa dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan di sekolah dan kelas ke permasalahan yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. Dia menegaskan bahwa banyak siswa tidak mampu memberikan bukti tak lebih dari pemahaman yang dangkal tentang konsep dan hubungan yang mendasar bagi mata pelajaran yang telah mereka pelajari, atau ketidakmampuan untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang telah mereka peroleh ke dalam permasalahan dunia nyata (Rajendran, 2002).
Menurut kajian ini kebutuhan untuk mengajarkan kemampuan berpikir sebagai bagian yang menyatu dengan kurikulum sekolah merupakan hal yang sangat penting. Sebagian besar negara mempedulikan kenaikan standar pendidikan melalui wajib belajar pada pendidikan formal. Menurut Cotton (2003), pada tatanan masyarakat yang serba praktis ini, pendidikan anak-anak menjadi tujuan utama pendidikan. Hal ini akan membekali anak-anak dengan pembelajaran sepanjang hayat dan kemampuan berpikir kritis yang dibutuhkan untuk menangkap fakta dan memproses informasi di era dunia yang makin berkembang ini. Salah satu dari fungsi sekolah adalah menyediakan tenaga kerja yang mumpuni dan siap dengan berbagai masalah yang ada di masyarakat, maka penting pembelajaran berpikir dimasukkan ke dalam proses pembelajaran. Selain perhatian terhadap penguasaan hal-hal dasar seperti membaca, menulis, sains dan matematika, perhatian yang sama juga terletak pada kemampuan berpikir kritis. Pengetahuan dasar atau penguasaannya saja tidak cukup untuk memenuhi tuntutan perkembangan dunia masa yang akan datang.
Beberapa kajian pedagogi yang memiliki kontribusi terhadap antara lain Bourke (2004), See (1998), See dan Lim (2003), Dhinsa dan Shanmuganathan (2002). Penelitian mengenai pentingnya kemampuan berpikir kritis mata pelajaran sains telah dilakukan oleh See (1998), Dhinsa (2002), dan Yong (2003). See dan Lim (2003) juga menyarankan penggunakan analogi dalam pengajaran matematika dan sains. Skolnik (1999) dalam Creative Problem Solving menyebutkan bahwa ada empat analogi dalam pemikiran kreatif, yaitu analogi personal, langsung, simbolik, dan fantasi. Sehubungan dengan hafalan, Taylor (2001) menjelaskan bahwa dalam pembelajaran yang berbasis hafalan menjadikan siswa jarang dituntut untuk bertanya dan berpikir, sehingga kemampuan berpikir kritis kurang terpacu. Berpikir dapat dipacu dengan mengajukan pertanyaan yang ditingkatkan kompleksitasnya. Taksonomi Bloom yang telah direvisi oleh Anderson dan Krathwhol (2001) sangat berguna dalam meningkatkan level berpikir kritis siswa dalam pembelajaran.
Peneliti Chai dan Tan (2003) mengusulkan sebuah pendekatan yang disebut dengan knowledge building community untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa. Mereka menyatakan bahwa pendekatan ini mampu mengubah struktur wacana tradisional penyampaian ilmu pengetahuan di kelas untuk mengembangkan ide-ide dan keterampilan berpikir kritis. Rangkaian guru mengajukan pertanyaan, siswa menjawab dan kemudian guru mengevaluasi dan menjelaskan kembali secara rinci jawaban dari siswa, adalah tipikal kelas tradisional (Chai dan Tan 2003). Apa yang dibutuhkan sekarang adalah suatu konteks ramah sosial bagi peserta didik untuk membawa ide mereka ke dalam kelas. Lee (1999) mengatakan bahwa memberikan materi yang tepat, arahan yang benar dan suasana pembelajaran yang kondusif, anak-anak dari usia berapapun akan mampu berkembang kemampuan berpikir kritisnya. Lagipula, setiap orang termasuk anak-anak memiliki kemampuan untuk berpikir dan kita semua berpikir.
D. Aktivitas Berpikir Kritis Akademik
Kunci berpikir kritis adalah mengembangkan pendekatan impersonal yang memperhatikan argumentasi dan fakta sejalan dengan pandangan, pendapat dan perasaan personal. Wacana akademik didasarkan pada prinsip-prinsip berpikir kritis yang dijelaskan oleh Northedge (2005)sebagai berikut: Debat: membantah poin-poin yang memiliki pandangan berbeda. Keilmuan: kesadaran akan hal lain apa yang telah ditulis, dan mengutipnya dengan tepat. Argumen: mengembangkan poin-poin dalam urutan logis yang akan mengarah pada kesimpulan. Kritis: mengetahui/memperhatikan kekuatan dan kelemahan. Analisis: menguraikan argumen yang dikemukakan. Bukti: meyakinkan orang bahwa argumen yang dibawa didukung oleh bukti yang valid. Objektif: tidak memihak dan emosional serta tanpa menimbulkan daya tarik langsung pada orang lain. Presisi: menuju ketepatan, hal-hal apapun yang tidak terkait dengan argumen harus dihilangkan. Pemikiran kritis dan analitis harus diaplikasikan pada semua aspek kegiatan akademik, misalnya aktivitas memilih informasi, membaca, menulis, berbicara, dan menyimak. Belajar membaca dan mengevaluasi informasi secara kritis merupakan keahlian yang paling penting, apabila telah dikuasai dapat diaplikasikan di bidang-bidang lainnya.

1. Pemilihan Informasi secara Kritis
Tahap awal dalam proses membaca kritis adalah untuk mengasah kepekaan terhadap informasi yang anda gunakan,seberapa dapat dipercayakah informasi itu? Untuk materi tertulis, pertimbangkan hal-hal berikut:
a. Untuk buku, siapa penerbitnya? Apakah penerbit akademik ternama? Apakah buku itu berseri (yang berarti bahwa buku itu akan memiliki “kendali mutu”, dari beberapa editor)
b. Untuk artikel jurnal, apakah artikel itu diterbitkan dalam sebuah jurnal akademik? (Pengajar anda hendaknya mampu untuk memberitahu anda jurnal-jurnal utama dalam bidang anda.)
c. Untuk keduanya, siapa penulisnya, dan apakah dia berasal dari organisasi akademik terpercaya?
d. Seberapa baru tanggal terbitannya, dan apakah anda menggunakan edisi terbaru dari buku teks itu?
Perhatian khusus perlu diasah ketika menggunakan informasi dari internet. Ini akan menjadi topik dari artikel lain dalam situs ini, tapi anda perlu mempertimbangkan relevansinya, dan khususnya:
a. Apakah yang menjadi sumbernya? Apakah informasi itu berasal dari organisasi akademik ataukah organisasi komersial, dan jika berasal dari organisasi akademik, apakah ternama? (Misalnya, ketika kita mencari “berpikir kritis”, kita akan menemukan banyak situs komersial yang mencoba untuk menjual layanan khusus semacam software atau model konsultasi.)
b. Apakah tipe penulisannya akademik, disertai referensi, klaim-klaim yang kuat, dan lain-lain?
c. Kapan diposting/di-update?

3. Membaca Kritis
Ketika membaca teks, anda perlu menerapkan prosedur-prosedur tertentu, yaitu:
a. Identifikasi argumen, apa inti dari argumentasi penulis.
b. Analisis dan kritisi argumen:
1) Apakah alasan yang diajukan mencukupi, dan apakah valid sebagai argumentasi, apakah argumentasi itu mendukung untuk menarik kesimpulan dari suatu kajian?
2) Apakah penulis mengembangkan argumen secara logis dan koheren, yakni premis/ poin A/ poin B/ kesimpulan, menghindari pemotongan yang bisa membingungkan jalannya logika yang telah disusun.
3) Apakah logika penulis selalu valid, atau apakah dia menarik kesimpulan dari premis yang salah, atau adakah kelemahan dalam proses penarikan kesimpulan yang mengasumsikan adanya hubungan sebab-akibat yang tak satupun dapat dibenarkan atau digeneralisasi karena contoh-contohnya tidak memadai?
4) Apakah penulis objektif, atau apakah dia menggunakan bahasa emotif, untuk menarik simpati pembaca.
c. Menilai dan menguji bukti
1) Jenisnya, statistik, survei, studi kasus, temuan dari eksperimen adalah contoh bentuk-bentuk bukti yang mungkin diajukan.
2) Apakah bukti valid? Validitas dapat dipengaruhi oleh kriteria eksternal seperti sumber (misalnya artikel dari jurnal akademik cenderung lebih terpercaya daripada yang diambil dari koran). Hendaknya, anda memeriksa kualitas intrinsik dari bukti-bukti, misalnya seberapa baru studi kasus itu?

4. Menulis Kritis
Perencanaan adalah kunci utama: jika anda menyusun ide-ide anda dengan baik dalam perencaan anda, anda tidak akan kebingungan tentang materi yang harus anda tulis.
Anda perlu menerapkan penilaian dengan berpikir kritis pada tulisan anda sendiri sebagaimana yang anda lakukan terhadap orang lain, walaupun menilai karya sendiri pasti lebih sulit. Periksa apakah rangkain penalaran anda cukup jelas, mulailah menyatakan hal apa yang ingin anda lakukan, aturlah informasi yang anda kemukakan secara logis, hingga sampai pada kesimpulan yang jelas dan kuat.
· Pastikan bahwa bukti yang anda gunakan valid berdasarkan kriteria yang telah dijelaskan dalam penjelasan membaca kritis.
· Pahami dengan teliti perbedaan tulisan deskriptif, yang memaparkan kisah, menggunakan pernyataan-pernyataan, penjelasan dan daftar-daftar, dan tulisan analisis, yang mengemukakan argumen, memberikan alasan-alasan, mempertimbangkan informasi, dan menarik kesimpulan.
5. Menyimak dan Berbicara Kritis
Proses belajar umumnya berjalan melalui dialog dan dengan saling bertukar ide satu sama lain, tetapi anda tidak bisa berharap diri anda atau pun orang lain untuk selalu memperkuat pendapat sekuat dalam tulisan. Walaupun begitu, coba dengarkan diri anda sendiri dan orang lain, simak ketidakkonsistenan dan kontradiksi yang muncul; jika anda dalam sebuah seminar, perhatikan bagaimana ide dikembangkan sepanjang dialog, bagaimana ide-ide anda sesuai atau bertentangan dengan ide orang lain itu. Siapkan diri sebaik mungkin untuk mengajukan pertanyaan jika anda menyimak, misalnya jika seseorang mengajukan pandangan tentang penulis atau teks tertentu, jangan takut untuk menuntut mereka agar memperkuat argumen mereka. Anda juga perlu mengajukan argumen yang beralasan, yang akan membantu mengembangkan keahlian berpikir anda, karena debat lisan memang berlangsung lebih cepat daripada menulis ataupun membaca, yang hampir sepenuhnya adalah aktivitas pribadi. Perlu diingat pula, bahwa anda memiliki “data” tambahan berupa bahasa tubuh.
E. Berpikir Kritis untuk Pembelajaran Bermakna
Pembelajaran bermakna terjadi ketika siswa dengan aktif menginterpretasikan pengalaman mereka menggunakan operasi kognitif internal. Pembelajaran bermakna memerlukan perubahan peran guru sebagai fasilitator yang bijaksana, dari pemberi ke kolaborator, dari instruktur ke pemandu (Ó Murchú, 2005). Karena para siswa belajar dari berpikir tentang apa yang mereka sedang lakukan, peran guru menjadi salah satu dari perangsang dan mendukung aktivitas yang melibatkan pelajar dalam berpikir kritis (Bhattacharya, 2002). Pembelajaran bermakna memerlukan pengetahuan untuk dibangun oleh pebelajar, tidak dberikan langsung dari guru kepada siswa (Jonassen et al, 1999).

Selanjutnya Jonassen et al (1999) menjelaskan bahwa pembelajaran bermakna adalah:
a. Aktif (manipulatif): Kita saling berhubungan dengan lingkungan menggerakkan objek mengamati efek memanipulasinya.
b. Konstruktif dan Reflektif: Aktivitas sangat penting, tetapi tidak cukup dalam pembelajaran bermakna. Kita harus merefleksikan aktivitas dan pengamatan kita, dan menginterpretasikannya dalam rangka merangkai pembelajaran bermakna.
c. Disengaja: Tingkah laku manusia secara alami mengacu pada tujuan. Ketika siswa dengan aktif mencoba untuk mencapai suatu tujuan belajar yang mereka rencanakankan, mereka berpikir dan belajar lebih. Karena untuk mengalami pembelajaran bermakna, mereka harus mampu mengartikulasikan mereka sendiri tujuan belajar dan memonitor kemajuan mereka sendiri.
d. Authentic (kompleks dan kontekstual): Pemikiran dan gagasan bersandar pada konteks di mana terjadi dalam rangka kebermaknaan. Tunjukkan fakta yang diungkap dari pengetahuan yang terkait dengan kenyataan.
e. Kooperatif dan kolaboratif: Kita hidup, bekerja dan belajar, yang secara alami saling membantu satu dengan yang lain, dan bernegosiasi tentang permasalahan, bagaimana cara memecahkannya. Oleh karena itu, pembelajaran bermakna memerlukan kebersamaan dan pengalaman kelompok.

G. Pembelajaran Biologi Kontruktivistik
Pembelajaran konstruktivistik diimplementasikan dengan tiga unsur utama, yaitu: 1) berpedoman pada pengetahuan awal siswa, 2) siswa melakukan konstruksi pengetahuannya sendiri, 3) siswa mengembangkan penjelasan dengan bahasanya sendiri pada gejala alam yang dipelajari (BSCS, 1992). Lebih lanjut dikatakan dalam BSCS (1992) bahwa siswa akan belajar dengan baik bila diberikan kesempatan yang luas untuk mengkonstruksi pemahamannya sendiri sepanjang waktu belajar. Hal ini sesuai dengan fokus pengembangan belajar bermakna (meaningful learning) (Jonnasen et al, 1999; Isjoni, 2007). Senada dengan hal tersebut, Chiapetta et al (1976) dan Ardhana (2005) mengatakan bahwa belajar merupakan kegiatan aktif siswa sehingga siswa mampu mengkonstruksi materi pelajaran dengan interaksi terhadap lingkungan fisik maupun sosial.
Pembelajaran biologi konstruktivitik dapat mengantarkan siswa untuk mengkaji permasalahan mendasar dengan tema utama, yaitu 1) biologi sebagai proses penemuan (inquiry), 2) sejarah konsep biologi, 3) evolusi, 4) keanekaragaman dan keseragaman, 5) genetika dan keberlangsungan hidup, 6) organisme dan lingkungan, 7) perilaku, 8) struktur dan fungsi, dan 9) regulasi (Depdiknas, 2007). Harapannya, siswa SMA dapat memahami dan mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikaji di dalamnya, sehingga pembelajaran biologi di SMA mencerminkan proses dan produk yang berpusat pada siswa (student centered) (Chiappetta, 1976; Halpern, 1994; Nur, 2000). Hal ini senada dengan pergeseran paradigma teaching menjadi learning, yang tidak lagi menitikberatkan bahwa belajar berpusat pada guru (teacher centered) (Ardana, 2000; Susilo, 2007). Dalam rangka menuju paradigma baru ini guru harus tertantang untuk selalu meningkatkan profesionalisme dengan belajar sepanjang hayat dan secara terus menerus mengembangkan strategi pembelajaran (Nur, 2000a; Susilo, 2007).
Upaya membentuk generasi yang literat terhadap sains sebagaimana tersirat pada standar pendidikan nasional harus dapat diterjemahkan secara spesifik pada pembelajaran sains yang berorientasi pada filosofi konstruktivisme (Faryadi et al, 2007). Siswa harus mampu melakukan konstruksi dari pengetahuan yang telah dimilki dengan pengetahuan baru yang diperolehnya. Selanjutnya, disampaikan oleh Zahorik dalam Depdiknas (2002) bahwa pembelajaran konstruktivitik harus memperhatikan beberapa hal, yaitu: 1) mengaktifkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya (activating knowledge), 2) pemerolehan baru secara keseluruhan dan detailnya (acquiring knowledge), 3) pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), dalam hal ini diperlukan penyusunan konsep, sharing dengan orang lain untuk mendapat tanggapan, dan revisi konsep yang telah dikembangkan, 4) mempraktikkan pengetahuan yang telah dimiliki (appliying knowledge), dan 5) melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap pengembangan pengetahuan tersebut.
Pembelajaran biologi yang berorientasi konstruktivisme memerlukan pembangunan pengetahuan dalam diri siswa sendiri. Dalam aplikasinya, pengetahuan dan pengalaman dapat diperoleh dari kegiatan penyelidikan dan eksperimen sebagai bagian dari kerja ilmiah yang melibatkan keterampilan proses yang dilandasi sikap ilmiah. Disampaikan oleh Ahern-Rindell (1999) bahwa pembelajaran sains harus menekankan pengembangan rasa ingin tahu melalui penemuan (inquiry) berdasarkan pengalaman langsung yang dilakukan dalam kerja ilmiah dengan memanfaatkan fakta, membangun konsep, prinsip, teori, dan hukum. Kerja ilmiah melatih siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan analitis (Joice et al, 2004; Depdiknas, 2007). Pembelajaran biologi di SMA dapat membentuk sikap siswa dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran harus dilakukan dengan memberdayakan siswa, sehingga siswa memperoleh pemahaman sendiri dan mampu menggunakan kemampuan berpikir kritis (Depdiknas, 2002).
Salah satu pembelajaran berorientasi konstruktivisme yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran biologi adalah cooperative learning. Pada dasarnya cooperative learning merupakan strategi pembelajaran yang memberdayakan siswa dalam belajar melalui kelompok-kelompok kecil. Strategi ini dilaksanakan atas dasar proses demokrasi dan peran aktif siswa dalam menentukan materi yang akan dipelajari. Dijelaskan oleh Slavin (1995), bahwa cooperative learning bertujuan mengembangkan dan meningkatkan hasil belajar akademik, menerima adanya keragaman, dan pengembangan keterampilan. Selanjutnya, disampaikan Arends (2004) bahwa keuntungan cooperative learning adalah siswa bertanggung jawab atas proses belajarnya, siswa mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan berpikir kritis, siswa memiliki hubungan psikologis yang besar antar anggota kelompok. Selain hal tersebut, dinyatakan oleh Ibrahim et al (2000) bahwa dengan cooperative learning, siswa memiliki curahan waktu yang besar terhadap tugas, menurunnya perilaku mengganggu pada siswa berkurangnya sikap apatis, motivasi siswa menjadi besar. Senada dengan itu, disampaikan oleh Sanjaya (2006) bahwa cooperative learning meningkatkan kerja sama siswa, komunikasi, mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan.
Cooperative learning memiliki beberapa perspektif yang dapat dikembangkan, yaitu perspektif motivasi, sosial, kognitif, elaborasi kognitif, dan psikologis (Slavin, 1995; Ibrahim et al, 2000; Arends, 2004). Dijelaskan oleh Piaget dalam Slavin (2003) bahwa dalam perkembangannya, siswa memiliki peran kognitif yang bergantung interaksi dengan lingkungannya, baik lingkungan belajar maupun teman sesamanya. Teori ini memandang bahwa cooperative learning mampu mewadahi proses belajar siswa. Slavin (1995) menjelaskan bahwa pembelajaran akan terjadi bila anak belajar atau bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun masih berada dalam jangkauannya (zone of proximal development). Selain itu, masih diperlukan bantuan selama tahap awal pembelajaran (scaffolding), sebelum siswa mengambil alih tugas belajarnya.
H. Memberdayakan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dalam Pembelajaran
Pada dasarnya berpikir kritis merupakan suatu hal yang masuk akal (reasonable), berpikir reflektif yang terfokus pada keputusan untuk mempercayai dan melakukannya (Ennis, 1986; Ennis, 1993; King, 1994). Kemampuan berpikir kritis dapat diberdayakan dengan memhami aspek-aspek yang berkaitan dengan konsepsi berpikir kritis. Berpikir dikatakan masuk akal apabila pemikir berusaha menganalisis argumen secara hati-hati, mencari bukti yang valid dan mecapai kesimpulan yang logis (Marzano et al, 1988). Disebutkan Ennis (1985), ada 12 indikator kemampuaan berpikir kritis yang dikelompokkan menjadi 5 aspek kemampuan berpikir kritis, yaitu: 1) memberikan penjelasan secara sederhana (meliputi: memfokuskan pertanyaan, menganalisis pertanyaan, bertanya dan menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan), 2) membangun keterampilan dasar (meliputi: mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak, mengamati dan mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi), 3) menyimpulkan (meliputi: mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi, menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi, membuat dan menentukan nilai pertimbangan), 4) memberikan penjelasan lanjut (meliputi: mendefinisikan istilah dan pertimbangan definisi dalam tiga dimensi, mengidentifikasi asumsi), 5) mengatur strategi dan taktik (meliputi: menentukan tindakan, berinteraksi dengan orang lain).
Pembelajaran Biologi seyoganya mengembangkan dan memberdayakan kemampuan berpikir kritis. Pemberdayaan kemampuan berpikir kritis dapat dilakukan oleh guru dengan pembelajaran menggunakan strategi-strategi pembelajaran konstruktivistik yang berpotensi memberdayakan kemampuan berpikir kritis, seperti inquiry based learning, problem based learning, project based learning,Thinking Empowerment by Questioning (TEQ),cooperative learning (Corebima, 2008). Khusus cooperative learning terdapat bermacam-macam tipe yang dapat digunakan dalam pembelajaran untuk memberdayakan kemampuan berpikir kritis.

Indikator dan aspek kemampuan berpikir kritis yang diadaptasi dari Ennis (1985):
1. Merumuskan masalah : Memformulasikan bentuk pertanyaan yang memberi arah untuk memperoleh jawaban
2. Memberi argumen : Argumentasi atau alasan yang sesuai konteks, menunjukkan persamaan dan perbedaan dengan argumentasi komprehensif
3. Melakukan deduksi : Mendeduksi secara logis, kondisi logis deduktif, melakukan interpretasi terhadap pertanyaan
4. Melakukan induksi : Melakukan investigasi/pengumpulan data, membuat generalisasi dari data, membuat tabel dan grafik, membuat kesimpulan terkait dengan hipotesis
5. Melakukan evaluasi : Evaluasi diberikan berdasarkan fakta dan berdasar prinsip atau pedoman, memberikan alternatif penyelesaian masalah
6. Memutuskan dan melaksanakan : Memilih kemungkinan solusi, menentukan kemungkinan tindakan yang akan dilaksanakan
Kemampuan berpikir kritis merupakan alat yang dipergunakan dalam proses penguasaan konsep karena pengetahuan konseptual merupakan akibat dari proses konstruktif. Kemampuan berpikir ilmiah merupakan alat esensial bagi semua orang selama perjalanan hidupnya (Lawson, 1993; Lawson, 2000). Kemampuan ini tidak dapat berkembang dengan sendirinya seiring dengan perjalanan usia seseorang. Kemampuan ini akan berkembang dengan baik apabila secara sengaja dikembangkan. Senada dengan hal ini, Penner (1995) menjelaskan bahwa berpikir kritis tidak dapat dilatihkan sekaligus dalam satu konsep saja, tetapi harus dilatihkan melalui beberapa konsep dan strategi belajar, sama halnya dengan melatihkan keterampilan motorik. Lebih lanjut disampaikan oleh Marzano (1993) bahwa membelajarkan berpikir kritis dapat dilakukan guru melalui tanya jawab, menulis, kerja sama, diskusi dan praktik.

I. Kemampuan Berpikir Kritis dan Keterampilan Proses
Keterampilan proses sains (science process skill) bersangkut paut dengan pembelajaran sains yang bersifat induktif, siswa mengalami pembelajaran melalui proses yang dilakukan oleh para ilmuwan dalam mengembangkan ilmu. Dalam pembelajaran sebenarnya tidak ada pemisah yang tegas antara kepentingan pencapaian penguasaan konsep dan keterampilan proses (Harlen, 1985). Selanjutnya Harlen (1985) menjelaskan macam-macam keterampilan proses, yaitu observasi, interpretasi, inferensi, bertanya, mengajukan hipotesis, investigasi, dan komunikasi. Keterampilan proses juga disebut sebagai keterampilan inkuiri, meliputi kegiatan mengobservasi, mengajukan hipotesisi, merencanakan dan melakukan investigasi, menginterpretasi temuan, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan hasil temuan. Depdiknas (2007) menjelaskan bahwa keterampilan proses dalam biologi mencakup keterampilan dasar dan keterampilan terpadu. Keterampilan dasar meliputi keterampilan mengobservasi, mengklasifikasi, berkomunikasi, melakukan pengukuran, memprediksi, menyimpulkan, dan menafsirkan. Keterampilan terpadu mencakup kemampuan mengidentifikasi variabel, menentukan variabel operasional, menjelaskan hubungan antar variabel, menyusun hipotesis, merancang prosedur dan melaksanakan eksperimen untuk pengumpulan data, menganalisis data, menyajikan hasil eksperimen dalam bentuk tabel dan grafik, membahas, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan secara tertulis maupun lisan. Gega dalam Corebima (2006) mengemukakan bahwa dalam pengembangan keterampilan proses juga termaktub pemberdayaan kemampuan berpikir kritis. Hal ini didukung oleh The Exploratorium (1998) dalam Corebima (2006) bahwa memberdayakan keterampilan proses dapat dilakukan bersama pemberdayaan kemampuan berpikir kritis. Asesmen kemampuan berpikir kritis dapat digunakan secara bersama untuk mengukur keterampilan proses, sebagaimana halnya SOLO Taxonomy pada penguasaan konsep yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis (Collis & Davey, 1986).

J. Penutup
Berpikir kritis sebagai aktivitas kognisi bagi siswa dalam pembelajaran diyakini dapat diberdayakan, sehingga akan menghasilkan output dan outcome pendidikan yang maksimal. Dalam pembelajaran yang memberdayakan kemampuan berpikir kritis siswa terbekali dengan habits of minds, sehingga akan tumbuh menjadi problem solver yang tangguh dengan pemahaman argumentatif, memiliki presisi analisis dan evaluasi yang baik dengan kompleksitas yang tinggi, objektif terhadap permasalahan yang ada dan teridentifikasi, dan lebih jauh siswa memiliki kemampuan elaborasi dan metakognisi (thinking about thinking).
Berdasarkan rasionalitas kemampuan berpikir kritis tersebut, seyogyanya guru memberdayakannya dalam pembelajaran dengan pembelajaran yang konstruktivistik, kontekstual, student centered, dan PAIKEM. Dalam pemberdayaan kemampuan berpikir kritis siswa, guru memiliki otoritas dan otonomi yang luas sesuai dengan ranah yang akan diberdayakan dan diukur. Guru dapat mengadopsi atau mengadaptasi deskriptor, prediktor, dan rubrik yang dikembangkan oleh para pengembang ranah kemampuan berpikir kritis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang Di Blogger Ignasius Fandy Jayanto