1.
Deforestasi
ditinjau dari aspek sosial dan ekonomi
Hutan
termasuk sumber daya alam yang bersifat dapat diperbaharui, dan hutan merupakan
tempat tersediannya organisme yang secara alami telah sesuai (adaptif) dengan
lingkungannya, sehingga hutan perlu dilindungi dan dilestarikan. Kerusakan
lingkungan karena campur tangan manusia antara lain pembangunan permukiman,
penerapan ekstensifikasi pertanian, dan penebangan hutan. Hutan merupakan sumber
daya alam yang penting bagi makhluk hidup. Bagi tumbuhan dan hewan, hutan
sebagai tempat hidup. Adapun bagi manusia, hutan sebagai penyedia bahan baku,
sumber plasma nutfah, dan sistem penunjang kehidupan.
Dalam memanfaatkan hutan demi kepentingan pribadi atau demi
memenuhi kebutuhannya manusia
boleh-boleh saja memanfaatkan hutan yang ada. Dengan catatan setelah
memanfaatkan hutan, kita tidak boleh lalai begitu saja, harus ada rasa
bertanggung jawab dalam pemulihan hutan tersebut. Seperti halnya dalam aspek
ekonomi, karena dalam pemenuhannya ini merupakan hal yang pokok, dan jika tidak
ada alternatif lain untuk menggantikannya, hutan boleh untuk dimanfaatkan asalkan tidak
dieksploitasi sehingga hutan masih slalu ada untuk kita. Kita harus
ramah lingkungan, maksudnya di sini yaitu misalnya setelah kita menebang pohon
maka dengan sadar diri dan rasa bertanggung jawab pohon tersebut kita ganti
dengan bibit pohon yang sama atau pohon lain. Bagaimana jika kita tidak perduli
terhadap apa yang telah kita lakukan dan hanya mementingkan kepentingan
pribadi? Maka beberapa hal yang dapat terjadi yaitu kita tidak dapat
memanfaatkan hutan kembali untuk memenuhi kebutuhan kita. Kemudian hal yang
lebih buruk dari itu bisa saja menyebabkan bencana alam setelah terjadi deforestasi
hutan akibat perbuatan kita seperti banjir, tanah longsor, pemanasan global,
perubahan iklim, dan sebagainya yang pasti semua itu akan merugikan kita
sebagai manusia yang memiliki banyak kebutuhan maupun kepentingan.
Hutan yang telah dikemas menjadi sedemikian rupa misalnya hutan dijadikan tempat rekreasi itu
merupakan ide bagus apabila dalam pengelolaannya selalu mengedepankan keaslian
atau kealamian hutan tanpa merusaknya sedikitpun. Untuk memenuhi kebutuhan
kita, tidak cukup hanya dengan materi saja, tetapi kebutuhan rekreasi juga
penting dalam menyegarkan otak yang mungkin membebani bagi kita. Ditinjau dari
aspek sosial tersebut hutan bisa saja mengalami deforestasi, ketika
manusia-manusia yang memanfaatkannya begitu tidak ramah terhadap hutan
tersebut. Dan pengubahan fungsi hutan
yang menyababkan deforestasi ini akan bisa berakibat buruk bagi kita.
Tetapi manakala kita sadar untuk
menyayangi hutan tersebat dan bisa menjaga
ketat agar hutan tetap alami, mudah-mudahan hutan tersebut akan berdampak baik
bagi kita. Dalam hal ini pemerintah juga harus bersikiap tegas demi kebaikan
bersama, dan demi persahabatan antara manusia dan hutan.
22.
Perubahan iklim
sebagai ancaman negera agraris.
Fenomena perubahan iklim di Indonesia sendiri terlihat
dari data iklim rata-rata Indonesia pada abad ke-20 yang menunjukkan terjadinya
peningkatan suhu permukaan rata-rata sekitar rata-rata 0,3% sejak tahun 1990
dengan tahun 1990-an sebagai dekade terpanas (Hulme dan Sheard 1999 dalam
Delinom dan Marganingrum 2007). Indikasi lain bahwa perubahan iklim telah
terjadi teramati dari misalnya : peningkatan suhu rata-rata bulanan maupun
perubahan pola rata-rata curah hujan bulanan dari beberapa stasiun pengamat
cuaca di Indonesia, peningkatan frekuensi dan intensitas iklim ekstrim, dan
terjadinya pergeseran musim tanam di beberapa wilayah di Indonesia (Santoso
dkk. 2004, Irawan 2002, Amien 2005 dalam Delinom dan Marganingrum 2007).
Hubungan
antara Pengurangan Luas Hutan dengan Perubahan Iklim
Pemantauan perubahan iklim dari tahun ke tahun terus
dilakukan oleh IPCC. Pada April 2007, Kelompok kerja I IPCC melalui Laporan
Penilaian Ke Empat (Fourth Assesment Report) menyampaikan bahwa berdasarkan
berbagai penelitian mengenai peningkatan temperature sejak pertengahan abad 20
disimpulkan penyebab kenaikan suhu adalah peningkatan konsentrasi gas rumah
kaca akibat kegiatan manusia (antropogenik). Kenaikan konsentrasi gas CO2 di
satu sisi disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu
bara, dan bahan bakar organik lainnya yang menunjang aktivitas manusia,
sedangkan di sisi yang lain, jumlah vegetasi yang menggunakan CO2 semakin
sedikit.
Di Indonesia, kegiatan pembabatan hutan dan perubahan tata guna lahan di suatu daerah memberi konstribusi terbesar dalam peningkatan emisi gas rumah kaca. Hal ini jelas karena terkait fungsi vegetasi sebagai salah satu unit dari ekosistem hutan yang memegang peranan penting salah satunya sebagai penyerap CO2. Kementerian Lingkungan Hidup melaporkan bahwa tingkat emisi CO2 dari kegiatan pembabatan hutan dan perubahan tata guna lahan telah mencapai 64% (Susanta et al. 2007).
Di Indonesia, kegiatan pembabatan hutan dan perubahan tata guna lahan di suatu daerah memberi konstribusi terbesar dalam peningkatan emisi gas rumah kaca. Hal ini jelas karena terkait fungsi vegetasi sebagai salah satu unit dari ekosistem hutan yang memegang peranan penting salah satunya sebagai penyerap CO2. Kementerian Lingkungan Hidup melaporkan bahwa tingkat emisi CO2 dari kegiatan pembabatan hutan dan perubahan tata guna lahan telah mencapai 64% (Susanta et al. 2007).
Ancaman
Terhadap Negara Agraris
Saat ini
perubahan iklim merupakan tantangan paling serius yang dihadapi dunia. Semakin
banyak terjadi fenomena penyimpangan cuaca seperti badai, angin ribut, hujan
deras, serta perubahan musim tanam. Belum lagi ancaman badai tropis, tsunami,
banjir, longsor, kekeringan, meningkatnya potensi kebakaran hutan, punahnya
berbagai jenis ikan dan rusaknya terumbu karang, sertakrisis air bersih, bahkan
peningkatan penyebaran penyakit parasitik seperti Malaria dan Demam Berdarah
Dengue (DBD), serta terjadi peningkatan insiden alergi, penyakit pernafasan dan
radang selaput otak ((encephalitis). (Vivi , 2008 )
Perubahan
iklim diperkirakan akan mengancam ketersediaan bahan makanan di seluruh penjuru
dunia pada tahun 2100. Menurut Prof David Battisti dari University of
Washington, Seattle, pemanasan global akan mengurangi produksi pertanian baik
di wilayah tropis maupun subtropis.
Organisasi
Pangan dan Pertanian PBB (FAO), mengeluarkan peringatan bahwa perubahan
iklim yang disebabkan oleh pemanasan global dapat menurunkan hasil pangan dan
menimbulkan kelaparan diberbagai belahan bumi ini. Akibat dari pemanasan global
ini bukan hanya menurunkan produksi pangan, tetapi dapat mengakibatkan
menurunnya luas lahan pertanian dan meningkatkan berbagai hama dan penyakit.
Global warming
sangat mempengaruhi prespitasi, evaporasi, water run-off, kelembaban
tanah dan variasi iklim yang sangat mencolok secara keseluruhan yang dapat mengancam
keberhasilan produksi pangan. Kajian yang dilakukan oleh National Academy
ofScience/NAS yang dilakukan pada tahun 2007 di bidang pertanian mengenai
dampakperubahan iklim.
Indonesia
adalah negara agraris dengan tingkat produktivitas yang rawan mengalami
gangguan akibat dampak global warming ini. Sementara itu, secara
global, dengan luas wilayah hutan tropis terbesar ketiga di dunia, posisi
Indonesia sangat menentukan kondisi iklim dunia.
Di Indonesia, pengaruh pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim,
antara lain terlihat dari curah hujan di bawah normal, sehingga masa tanam
terganggu, dan meningkatnya curah hujan di sebagian wilayah. Kondisi tata
ruang, daerah resapan air, dan sistem irigasi yang buruk semakin memicu
terjadinya banjir, termasuk di area persawahan. Sebagai gambaran, pada 1995
hingga 2005, total tanaman padi yang terendam banjir berjumlah 1.926.636
hektare. Dari jumlah itu, 471.711 hektare di antaranya mengalami puso. Sawah
yang mengalami kekeringan pada kurun waktu tersebut berjumlah 2.131.579
hektare, yang 328.447 hektare di antaranya gagal panen.
Rosamond
Naylor, Direktur Program Ketahanan Pangan dan Lingkungan dari Stanford
University, melansir anomali cuaca El Nino, yang diperburuk oleh pemanasan
global, akan menimbulkan kerugian bagi produksi beras di kawasan Jawa-Bali
karena mundurnya musim hujan. Diperkirakan pada masa kekeringan Juli-September
nanti, tanaman pangan terancam mati tanpa irigasi memadai. Sebelumnya, pada
2002, Rasamond Naylor, Water Falcon, dan kawan-kawan telah melakukan penelitian
tentang "penggunaan data klimatologi El Nino/Osilasi Selatan untuk
memprediksi produksi dan perencanaan kebijakan pangan Indonesia".
Penelitian ini menyebutkan bahwa anomali iklim pada El Nino dapat mengurangi
produksi padi hingga 4,8 juta ton gabah atau setara dengan 2,88 juta ton beras.
Panel on
Climate Change dalam laporan yang berjudul "Climate Change Impacts,
Adaptation and Vulnerability" pada 6 April 2007 menyimpulkan perubahan
iklim semakin mengancam produksi pangan Indonesia.
Dampak global
warming ( perubahan iklim )sudah nyata pengaruhnya terhadap pertanian
berupa penurunan produksi pangan kemudian tentunya akan berimbas
pada ketersedian pangan nasional . Sehingga kedepannya sudah menjadi keharusan
/ komitmen bagi pemerintah untuk intensif dalam memperhatikan akan permasalahan
hal ini dan kita
nantinya bisa lepas dari ancaman kekurangan stok pangan di masa
mendatang.
Degradasi lahan pertanian akibat
perubahan iklim, tidak hanya berupa erosi tanah, namun sudah merambah ke
bentuk-bentuk lain seperti banjir, longsor, pencemaran, dan pembakaran lahan,
sudah sering terjadi dalam intensitas dan kualitas yang tinggi. Hal ini
merupakan ancaman bagi kelangsungan sistem pertanian, dan tantangan bagi upaya
konservasinya.
Alternatif Solusi
Mengantisipasi perubahan iklim,
pemerintah perlu turun tangan dalam pemantauan sekaligus mendampingi petani.
Petani perlu diberikan petunjuk yang jelas. Dampak perubahan iklim ekstrem ini
telah membuat petani sulit untuk bercocok tanam, hama juga menjadi banyak.
Dengan adanya pemantauan dan pendampingan pada petani, maka dapat segera
ditanggulangi dengan pemberian obat-obatan dan penyemprotan. Begitu pula jika
terkena banjir, pemerintah perlu turun tangan langsung membantu petani mengolah
kembali lahan mereka dengan menyiapkan pompa-pompa air di waktu kemarau.
Perbaikan sarana irigasi juga harus
segera dilakukan, begitu pula dengan jalan dan alat-alat pasca panen harus
segera direvitalisasi. Rekayasa varietas yang mampu beradaptasi terhadap
perubahan iklim juga harus ditingkatkan. Saat ini dibutuhkan varietas yang
mampu bertahan dan berproduksi dalam kondisi kemarau, genangan tinggi dan
salinitas tinggi. Benih-benih berkualitas yang tahan perubahan iklim tersebut
perlu diberikan secara gratis dan penyuluh pertanian harus bergerak lebih
efektif.
Dari luas daratan Indonesia sekitar
190 juta ha, terdapat sekitar 101 juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian
tanpa mengganggu keseimbangan ekologis, sedangkan yang sudah dijadikan lahan
pertanian baru sekitar 64 juta ha. Dengan demikian masih terbuka peluang untuk
perluasan pertanian, namun memerlukan upaya keagrariaan, sosial-ekonomi dan
teknis, mengingat lahan tersebut diklaim sebagai kawasan hutan, HGU, milik adat,
atau milik pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Selamat Datang Di Blogger Ignasius Fandy Jayanto