KIR Pembasmian Kecoa
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang Penelitian
Kecoa suka
bersarang dan menetap di tempat lembab, gelap dan kotor seperti di got, di
sampahan, di bawah lemari, di atap rumah, dan sebagainya. Karena kaki serta
badannya yang kotor maka kecoa bisa mendatangkan serta menularkan penyakit pada
makhluk hidup termasuk manusia. Meskipun belum ada penelitian yang pasti
tentang kecoa sebagai vektor penyakit tertentu, namun jika dilihat dari
kebiasaan dan habitat hidupnya, kecoa sangat mungkin menularkan penyakit pada
manusia. Kuman penyakit yang menempel pada tubuhnya yang dibawa dari
tempat-tempat kotor akan menempel di setiap tempat yang dia hinggapi. Karena
alasan inilah kecoa perlu dikendalikan populasinya.
Pembasmian hama
atau serangga dengan cara pestisida nabati bukanlah konsep baru yang dipicu
oleh maraknya pertanian organik akhir-akhir ini. Namun upaya ini telah ada
sejak dulu, insektisida nabati lahir dari kearifan nenek moyang kita dalam
menyikapi mewabahnya berbagai macam
penyakit. Sayangnya, ketika produk kimia beredar luas di pasaran, cara bijak
itu pun dikesampingkan. Memang pestisida sintetis ini memiliki keunggulan dalam
hal kecepatan dan efektivitasnya, namun efeknya yang bisa meracuni lingkungan
mengembalikan kesadaran kita untuk memanfaatkan unsur-unsur dari alam dalam
membasmi organism pengganggu manusia. Sejauh ini pemakaian insektisida nabati
aman bagi manusia, hewan, dan lingkungan. Inilah keunggulan pestisida nabati
yang sifatnya hit and run (pukul dan lari), yaitu bila diaplikasikan
akan membunuh serangga pada saat itu juga dan setelah itu residunya akan cepat
menghilang/terurai di alam.
Gadung (Dioscorea hispida Denust) sering
dijumpai di pekarangan rumah atau tegalan atau di hutan-hutan tanah kering.
Umbinya sangat beracun, namun dengan pengolahan khusus akhirnya dapat dimakan
bahkan sebagai makanan ringan yang dikenal kerupuk gadung. Mengonsumsi gadung
kalau tidak tahan bisa keracunan. Kami berasumsi jika gadung dapat meracuni
manusia tentu dapat meracuni serangga sejenis kecoa yang mempunyai ukuran jauh
lebih kecil dari manusia. Di balik senyawa racun yang dikandung umbi tersebut
bisa digunakan untuk kepentingan lain yang bermanfaat yaitu membasmi serangga
(kecoa) yang menjengkelkan
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah :
a. Apakah umbi gadung dapat
digunakan untuk membasmi kecoa ?
b. Apakah volume
umbi gadung berpengaruh terhadap pembasmian kecoa ?
Tujuan
Penelitian berdasarkan permasalahan yang timbul, maka tujuan pada penelitian ini
adalah :
a. Memanfaatkan umbi gadung sebagai pembasmi kecoa
b. Menyelidiki pengaruh volume umbi gadung
terhadap pembasmian kecoa
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. GADUNG
Jenis ini di Indonesia dikenal dengan beberapa nama daerah yaitu gadung,
sekapa, bitule, bati, kasimun dan lain-lainnya. Dalam bahasa latinnya gadung
disebut Dioscorea hispida Denust. Gadung merupakan perdu memanjat yang
tingginya dapat mencapai 5-10 m. Batangnya bulat, berbulu dan berduri yang
tersebar sepanjang batang dan tangkai daun. Umbinya bulat diliputi rambut akar
yang besar dan kaku. Kulit umbi berwarna gading atau coklat muda, daging
umbinya berwarna putih gading atau kuning. Umbinya muncul dekat permukaan
tanah. Dapat dibedakan dari jenis-jenis dioscorea lainnya karena daunnya
merupakan daun majemuk terdiri dari 3 helai daun. Bunga tersusun dalam ketiak
daun, berbulit, berbulu dan jarang sekali dijumpai.
Gadung ini berasal dari
India bagian Barat kemudian menyebar luas sampai ke Asia Tenggara. Tumbuh pada
tanah datar hingga ketinggian 850 m dpl, tetapi dapat juga diketemukan pada
ketinggian 1.200 m dpl. Di Himalaya Dioscorea hispida di budidayakan
di pekarangan rumah atau tegalan, sering pula dijumpai di hutan-hutan tanah
kering.
Umbinya sangat beracun karena mengandung alkohol
yang menimbulkan rasa pusing-pusing. Dengan cara pengolahan khusus akhirnya
dapat dimakan. Di Nusa Tenggara dan Maluku umbinya dimakan sebagai pengganti
sagu dan jagung pada saat-saat paceklik, terutama di daerah-daerah kering. Umbi
mentahnya karena mengandung alkaloid dapat digunakan sebagai bahan untuk racun
binatang dan juga dapat digunakan sebagai obat luka di Asia. Bahan sisa
pengolahan tepungnya dapat digunakan sebagai insektisida. Bunga tanaman ini
yang berwarna kuning sangat harum digunakan untuk mewangikan pakaian dan dapat
pula dipakai sebagai hiasan rambut. Umbi yang telah bertunas dipergunakan
sebagai bibit. Penanaman biasanya dilakukan menjelang musim hujan. Setelah
berumur satu tahun dapat dipanen. Bila umbinya dibiarkan tua warnanya akan
berubah menjadi hijau dan kadar racunnya akan makin pekat. Umbi dipanen dengan
tanjau atau garpu tanah.
http://bukabi.wordpress.com/2009/02/02/umbi-gadung
2.2. KECOA
Kecoa atau coro
adalah insekta
dari ordo Blattodea yang kurang lebih
terdiri dari 3.500 spesies dalam 6 familia. Kecoa terdapat hampir di seluruh belahan bumi,
kecuali di wilayah kutub.
Di antara spesies yang paling
terkenal adalah kecoa Amerika, Periplaneta
americana, yang memiliki panjang 3 cm, kecoa Jerman, Blattella
germanica, dengan panjang ±1½ cm, dan kecoa Asia, Blattella
asahinai, dengan panjang juga sekitar 1½ cm. Kecoa sering dianggap sebagai hama dalam bangunan,
walaupun hanya sedikit dari ribuan spesies kecoa
yang termasuk dalam kategori ini.
Tabel 2.1. Klasifikasi kecoa
KLASIFIKASI ILMIAH
|
|
Kerajaan
Filum
Kelas
Upakelas
Infrakelas
Superordo
Ordo
|
Blattodea
|
Kecoa adalah serangga yang cukup
disegani dan ditakuti oleh banyak orang disegala penjuru dunia. Kecoa diyakini
sebagai salah satu binatang / hewan tertua di dunia yang berasal dari zaman
purba. Kecoak terdapat di berbagai penjuru dunia (kecuali kutub) karena
memiliki kemampuan serta desain tubuh yang tahan terhadap berbagai kondisi
serta mampu bergerak dengan lincah. Kecoa memiliki banyak jenis dan macamnya
yang mencapai ribuan spesies.
Sebutan / bahasa lain kecoa : coro, roach, cockroachAlasan / sebab seseorang takut dengan kecoa :
1. Kotor
Kecoa suka bersarang dan menetap di tempat lembab, gelap dan kotor seperti di got, di sampahan, di bawah lemari, di atap rumah, dan sebagainya. Karena kaki serta badannya yang kotor maka kecoak bisa mendatangkan serta menularkan penyakit pada makhluk hidup termasuk manusia.
Kecoa suka bersarang dan menetap di tempat lembab, gelap dan kotor seperti di got, di sampahan, di bawah lemari, di atap rumah, dan sebagainya. Karena kaki serta badannya yang kotor maka kecoak bisa mendatangkan serta menularkan penyakit pada makhluk hidup termasuk manusia.
2. Kakinya Yang Tajam
Pernahkan kecoa berjalan menyusuri bagian tubuh anda? rasanya geli, tajam dan seram yang memberikan sensasi yang tidak menyenangkan bagi sebagian besar orang.
Pernahkan kecoa berjalan menyusuri bagian tubuh anda? rasanya geli, tajam dan seram yang memberikan sensasi yang tidak menyenangkan bagi sebagian besar orang.
3. Jalannya Oleng Dan Cepat
Kecoa jalan seenak udelnya sendiri kemana pun dia mau sesuaid engan insting kebinatangannya dengan sensor dua antena di kepala. Gerakan serta arah jalan dan terbang kecoak tidak dapat diduga. Kecoa bisa dengan cepat dari sudut yang satu tiba-tiba mampir ke badan kita.
Kecoa jalan seenak udelnya sendiri kemana pun dia mau sesuaid engan insting kebinatangannya dengan sensor dua antena di kepala. Gerakan serta arah jalan dan terbang kecoak tidak dapat diduga. Kecoa bisa dengan cepat dari sudut yang satu tiba-tiba mampir ke badan kita.
4.
Warnanya Yang Gelap
Coro warnanya coklat, tapi ada juga yang warnanya putih gelap (albino kali), hitam bercorak kuning, dan sebagainya. Yang pasti warna itu terkesang kotor dan menjijikan siapa saja yang melihatnya.
Coro warnanya coklat, tapi ada juga yang warnanya putih gelap (albino kali), hitam bercorak kuning, dan sebagainya. Yang pasti warna itu terkesang kotor dan menjijikan siapa saja yang melihatnya.
5. Si
Mata Satu
Hama kecoa kalau dilihat dari atas, kecoa kelihatan punya satu mata yang besar di atas kepalanya. Kecoa juga punya antena yang panjang yang membuat geli bulu kuduk.
Hama kecoa kalau dilihat dari atas, kecoa kelihatan punya satu mata yang besar di atas kepalanya. Kecoa juga punya antena yang panjang yang membuat geli bulu kuduk.
6.
Makan Kotoran
Kecua suka makan kotoran serta sisa makanan yang berceceran. Ada juga kecoak yang senang dengan kotoran feses manusia. Terkadang makanan kia yang kita simpan pun dimakan kecoa jika kita tidak hati-hati menyimpan makanan.
Kecua suka makan kotoran serta sisa makanan yang berceceran. Ada juga kecoak yang senang dengan kotoran feses manusia. Terkadang makanan kia yang kita simpan pun dimakan kecoa jika kita tidak hati-hati menyimpan makanan.
7.
Buang Tinja Sembarangan
Namanya juga bianatang, jadi terserah mau buang air di mana pun dia mau. Tidak hanya kotoran saja yang dia keluarkan, namun juga telur kecoa yang bercangkang keras yang ditempatkan di tempat yang tersembunyi dan sulit dijangkau.
Namanya juga bianatang, jadi terserah mau buang air di mana pun dia mau. Tidak hanya kotoran saja yang dia keluarkan, namun juga telur kecoa yang bercangkang keras yang ditempatkan di tempat yang tersembunyi dan sulit dijangkau.
Cara Memberantas dan Membunuh Kecoa Yang
Menakutkan :
1. Disemprot cairan anti serangga.
2. Menebar serbuk kapur anti kecoa dan semut.
3. Menggunakan lem tikus.
4. Memakai alat jebakan khusus kecoa.
5. Dipukul benda tumpul atau diinjak dengan kaki, dll.
Daur hidup1. Disemprot cairan anti serangga.
2. Menebar serbuk kapur anti kecoa dan semut.
3. Menggunakan lem tikus.
4. Memakai alat jebakan khusus kecoa.
5. Dipukul benda tumpul atau diinjak dengan kaki, dll.
Seperti serangga lainnya, kecoa juga mengalami daur hidup. Daur hidup kecoa hanya mengalami tiga stadium yaitu telur, nimfa, dan dewasa. Untuk menyelesaikan satu siklus hidupnya kecoa butuh waktu kurang lebih tujuh bulan. Waktu yang sangat lama bila dibandingkan dengan daur hidup serangga pengganggu seperti nyamuk dan lalat. Untuk stadium telur saja kecoa butuh waktu 30-40 hari sampai telur itu menetas. Telur kecoa tidak diletakkan sendiri-sendiri, namun secara berkelompok. Kelompok telur ini dilindungi oleh selaput keras yang disebut kapsul telur atau ootheca. Satu kapsul telur biasanya berisi 30-40 telur. Oleh induk kecoa, kapsul telur ini biasanya diletakkan di tempat-tempat tersembunyi atau pada sudut-sudut dan permukaan sekatan kayu dan dibiarkan sampai menetas. Namun, ada beberapa jenis kecoa yang kapsul telurnya menempel pada ujung abdomen induknya sampai menetas.
Jumlah
telur yang dihasilkan oleh satu jenis spesies akan berbeda dengan spesies yang
lain. Seekor Periplaneta americana contohnya, kecoa ini mampu menghasilkan 86
kapsul telur dengan selang waktu peletakan telur yang satu dengan lainnya
rata-rata empat hari. Berbeda dengan Periplaneta brunnea yang mampu
menghasilkan 30 kapsul telur dengan selang waktu peletakan 3-5 hari.
Sebuah
kapsul telur yang telah dibuahi oleh kecoa jantan akan menghasilkan nimfa.
Nimfa hidup bebas dan bergerak aktif. Nimfa yang baru keluar dari kapsul telur
biasanya berwarna putih. Seiring bertambahnya umur, warna ini akan berubah
menjadi cokelat. Seekor nimfa akan mengalami pergantian kulit beberapa kali
sampai dia menjadi dewasa. Lamanya stadium nimfa ini berkisar 5-6 bulan.
Pada
Periplaneta americana, stadium nimfa bisa dikenali dengan jelas yaitu dengan
tidak adanya sayap pada tubuhnya. Sayap itu akan muncul manakala kecoa ini
sudah mencapai stadium dewasa. Dengan adanya sayap pada stadium dewasa ini
menjadikan kecoa lebih bebas bergerak dan berpindah tempat.
Vektor penyakit
Meskipun
belum ada penelitian yang pasti tentang kecoa sebagai vektor penyakit tertentu,
namun jika dilihat dari kebiasaan dan habitat hidupnya, kecoa sangat mungkin
menularkan penyakit pada manusia. Kuman penyakit yang menempel pada tubuhnya
yang dibawa dari tempat-tempat kotor akan menempel di setiap tempat yang dia
hinggapi. Karena alasan inilah kecoa perlu dikendalikan populasinya.
Pengendalian kecoa dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan mengggunakan insektisida seperti yang beredar di pasaran. Pengendalian secara fisik juga dapat dilakukan dengan cara menyiramkan air panas pada kapsul-kapsul telur kecoa sehingga kapsul-kapsul itu tidak sampai menetas. Pencegahan keberadaan kecoa di rumah juga perlu dilakukan antara lain dengan sanitasi rumah yang baik. Cara ini jauh lebih baik untuk mengatasi kemungkinan penyebaran penyakit yang di perantarai oleh kecoa. http://johannesharry.wordpress.com/2007/06/11/binatang-kecil-itu-bernama-kecoa/
Pengendalian kecoa dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan mengggunakan insektisida seperti yang beredar di pasaran. Pengendalian secara fisik juga dapat dilakukan dengan cara menyiramkan air panas pada kapsul-kapsul telur kecoa sehingga kapsul-kapsul itu tidak sampai menetas. Pencegahan keberadaan kecoa di rumah juga perlu dilakukan antara lain dengan sanitasi rumah yang baik. Cara ini jauh lebih baik untuk mengatasi kemungkinan penyebaran penyakit yang di perantarai oleh kecoa. http://johannesharry.wordpress.com/2007/06/11/binatang-kecil-itu-bernama-kecoa/
2.3. FERMENTASI
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel
dalam keadaan anaerobik
(tanpa oksigen).
Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik,
akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi
sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa
akseptor elektron eksternal. Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi.
Beberapa contoh hasil fermentasi adalah etanol, asam laktat,
dan hidrogen.
Akan tetapi beberapa komponen lain dapat juga dihasilkan dari fermentasi
seperti asam butirat dan aseton. Ragi dikenal sebagai
bahan yang umum digunakan dalam fermentasi untuk menghasilkan etanol dalam bir, anggur dan minuman beralkohol lainnya. Respirasi
anaerobik dalam otot
mamalia selama kerja yang keras (yang tidak
memiliki akseptor elektron eksternal), dapat dikategorikan sebagai bentuk
fermentasi.
Reaksi dalam fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis
gula yang digunakan dan produk yang dihasilkan. Secara singkat, glukosa (C6H12O6)
yang merupakan gula paling sederhana , melalui fermentasi akan menghasilkan etanol (2C2H5OH).
Reaksi fermentasi ini dilakukan oleh ragi, dan digunakan pada produksi makanan.
Persamaan Reaksi Kimia C6H12O6 → 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP (Energi yang dilepaskan:118 kJ per mol) Dijabarkan sebagai Gula (glukosa, fruktosa, atau sukrosa) → Alkohol (etanol) + Karbon dioksida + Energi (ATP)
Pembuatan tempe dan tape (baik tape ketan maupun tape singkong atau peuyeum) adalah proses fermentasi yang sangat dikenal di Indonesia. Proses fermentasi menghasilkan senyawa-senyawa yang sangat berguna, mulai dari makanan sampai obat-obatan. Proses fermentasi pada makanan yang sering dilakukan adalah proses pembuatan tape, tempe, yoghurt, dan tahu. http://id.wikipedia.org/wiki/Fermentasi
2.4. ALKALOID
Dalam dunia
medis dan kimia organik, istilah alkaloid telah lama menjadi bagian penting dan
tak terpisahkan dalam penelitian yang telah dilakukan selama ini, baik untuk
mencari senyawa alkaloid baru ataupun untuk penelusuran bioaktifitas. Senyawa
alkaloid merupakan senyawa organik terbanyak ditemukan di alam. Hampir seluruh
alkaloid berasal dari tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan.
Secara organoleptik, daun-daunan yang berasa sepat dan pahit, biasanya teridentifikasi
mengandung alkaloid. Selain daun-daunan, senyawa alkaloid dapat ditemukan pada
akar, biji, ranting, dan kulit kayu.
Berdasarkan literatur, diketahui
bahwa hampir semua alkaloid di alam mempunyai keaktifan biologis dan memberikan
efek fisiologis tertentu pada mahluk hidup. Sehingga tidaklah mengherankan jika
manusia dari dulu sampai sekarang selalu mencari obat-obatan dari berbagai
ekstrak tumbuhan. Fungsi alkaloid sendiri dalam tumbuhan sejauh ini belum
diketahui secara pasti, beberapa ahli pernah mengungkapkan bahwa alkaloid
diperkirakan sebagai pelindung tumbuhan dari serangan hama dan penyakit, pengatur tumbuh, atau
sebagai basa mineral untuk mempertahankan keseimbangan ion.
Alkaloid secara umum mengandung
paling sedikit satu buah atom nitrogen
yang bersifat basa dan merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Kebanyakan
alkaloid berbentuk padatan kristal dengan titik lebur tertentu atau mempunyai
kisaran dekomposisi. Alkaloid dapat juga berbentuk amorf atau cairan. Dewasa
ini telah ribuan senyawa alkaloid yang ditemukan dan dengan berbagai variasi
struktur yang unik, mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit.
Dari segi biogenetik, alkaloid
diketahui berasal dari sejumlah kecil asam amino yaitu ornitin dan lisin
yang menurunkan alkaloid alisiklik, fenilalanin dan tirosin yang
menurunkan alkaloid jenis isokuinolin, dan triftopan yang menurunkan
alkaloid indol. Reaksi utama yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid adalah
reaksi mannich antara suatu aldehida dan suatu amina
primer dan sekunder, dan suatu senyawa enol atau fenol. Biosintesis alkaloid
juga melibatkan reaksi rangkap oksidatif fenol dan metilasi. Jalur poliketida dan jalur mevalonat juga
ditemukan dalam biosintesis alkaloid.
Berikut
adalah beberapa contoh senyawa alkaloid yang telah umum dikenal dalam bidang
farmakologi :
Tabel 2.2. Senyawa alkaloid di
bidang farmakologi
Senyawa
Alkaloid
(Nama Trivial) |
Aktivitas
Biologi
|
Nikotin
|
Stimulan pada
syaraf otonom
|
Morfin
|
Analgesik
|
Kodein
|
Analgesik,
obat batuk
|
Atropin
|
Obat tetes
mata
|
Skopolamin
|
Sedatif
menjelang operasi
|
Kokain
|
Analgesik
|
Piperin
|
Antifeedant
(bioinsektisida)
|
Quinin
|
Obat malaria
|
Vinkristin
|
Obat kanker
|
Ergotamin
|
Analgesik pada
migrain
|
Reserpin
|
Pengobatan
simptomatis disfungsi ereksi
|
Mitraginin
|
Analgesik dan
antitusif
|
Vinblastin
|
Anti
neoplastik, obat kanker
|
Saponin
|
Antibakteri
|
Istilah
"alkaloid" (berarti "mirip alkali", karena dianggap
bersifat basa) pertama kali dipakai oleh Carl Friedrich Wilhelm Meissner
(1819), seorang apoteker dari Halle (Jerman) untuk menyebut berbagai senyawa
yang diperoleh dari ekstraksi tumbuhan yang bersifat basa (pada waktu itu sudah
dikenal, misalnya, morfina, striknina, serta solanina). Hingga sekarang dikenal
sekitar 10.000 senyawa yang tergolong alkaloid dengan struktur sangat beragam,
sehingga hingga sekarang tidak ada batasan yang jelas untuknya. Alkaloid
dihasilkan oleh banyak organisme, mulai dari bakteria, fungi (jamur), tumbuhan,
dan hewan. Ekstraksi secara kasar biasanya dengan mudah dapat dilakukan melalui
teknik ekstraksi asam-basa. Rasa pahit atau getir yang dirasakan lidah dapat
disebabkan oleh alkaloid.
Alkaloid adalah
sebuah golongan senyawa basa bernitrogen yang kebanyakan heterosiklik dan
terdapat di tetumbuhan (tetapi ini tidak mengecualikan senyawa yang berasal
dari hewan). Asam amino, peptida, protein, nukleotid, asam nukleik, gula amino
dan antibiotik biasanya tidak digolongkan sebagai alkaloid. Dan dengan prinsip
yang sama, senyawa netral yang secara biogenetik berhubungan dengan alkaloid
termasuk digolongan ini.
III.
METODE PENELITIAN
3.1.
Waktu dan Tempat
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen
yang dilaksanakan di laboratorium IPA SMA Paramarta I Seputih Banyak selama 4
hari (1 –4 Februari 2010)
3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat :
-
Blender/parut
-
Saringan
-
Corong
-
Baskom/ember
-
Gelas ukur
-
Pengaduk
-
Neraca
-
Toples bertutup
-
Sarung tangan
-
Kotak berongga
Bahan-bahan :
-
umbi gadung
-
kecoa
-
air
3.3.
Langkah Kerja dan Diagram Alir
3.3.1. Langkah Kerja
3.3.1.1. Pembuatan ekstrak umbi gadung
1. Kupas 1000 gram umbi
gadung, tambahkan air secukupnya kemudian diblender.
2. Bagi 2 bagian hasilnya, 1
bagian disaring dan diambil ekstraknya, sedangkan 1 bagian yang lain dimasukan
dalam toples tertutup dan
disimpan selama24 jam,
3. Tambahkan air pada ekstrak
umbi gadung sampai volumenya 1500 mL, masukan
pada alat penyemprot dan siap digunakan.
3.3.1.2. Penyemprotan kecoa
- Sediakan 5 buah kotak berongga dan beri label I – VI
- Masukkan 10 ekor kecoa pada masing-masing kotak
- Semprotkan larutan ekstrak umbi gadung pada masing-masing kotak dengan ketentuan sebagai berikut
Kotak
|
Volume ekstrak umbi gadung yang tidak
disimpan (mL)
|
I
II
III
IV
V
VI
|
Tidak disemprot
100 mL
200 mL
300 mL
400 mL
500 mL
|
- Amati setiap 2 jam
- Lakukan langkah no 1 - 4 tetapi ekstrak umbi gadung sudah disimpan selama 24 jam.
3.3.2. Diagram alir
Penyemprotan kecoa
Penyemprotan kecoa
IV.
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan
Tabel 4.1
Jumlah kecoa yang mati pada ekstrak umbi gadung yang tidak disimpan
Kotak
|
Volume
ekstrak umbi gadung (mL)
|
Jumlah
kecoa yang mati setelah jam ke -
|
|||||
2
|
4
|
6
|
8
|
10
|
12
|
||
I
II III IV V VI |
Tidak disemprot
100
200
300
400
500
|
-
-
-
-
-
-
|
-
-
-
-
-
-
|
-
-
-
1
2
3
|
-
-
-
2
3
5
|
-
-
-
4
5
7
|
-
-
-
6
7
10
|
Tabel 4.2.
Persentase kecoa yang mati pada ekstrak umbi gadung yang tidak disimpan
kotak
|
volume ekstrak umbi
gadung
|
% kecoa yang mati pada
jam ke-
|
|||||
2
|
4
|
6
|
8
|
10
|
12
|
||
I
II
III
IV
V
VI
|
Tidak
disemprot
100
mL
200
mL
300
mL
400
mL
500
mL
|
0
%
0
%
0
%
0
%
0
%
0
%
|
0
%
0
%
0
%
0
%
0
%
0
%
|
0
%
0
%
0
%
10
%
20
%
30
%
|
0
%
0
%
0
%
20
%
30
%
50
%
|
0
%
0
%
0
%
40
%
50
%
70
%
|
0
%
0
%
0
%
60
%
70
%
100
%
|
Tabel 4.3.
Jumlah kecoa yang mati pada ekstrak umbi gadung yang disimpan 24 jam
Kotak
|
Volume ekstrak umbi
gadung (mL)
|
Jumlah
kecoa yang mati setelah jam ke -
|
|||||
2
|
4
|
6
|
8
|
10
|
12
|
||
I
II III IV V VI |
Tidak disemprot
100
200
300
400
500
|
-
-
-
-
6
10
|
-
-
-
4
8
10
|
-
1
2
5
10
10
|
-
2
3
7
10
10
|
-
4
5
7
10
10
|
-
4
6
9
10
10
|
Tabel 4.4.
Persentase kecoa yang mati pada Ekstrak umbi gadung yang disimpan 24 jam
Kotak
|
Volume
ekstrak umbi gadung
|
% kecoa yang mati pada
jam ke-
|
|||||
2
|
4
|
6
|
8
|
10
|
12
|
||
I
II
III
IV
V
VI
|
Tidak
disemprot
100
mL
200
mL
300
mL
400
mL
500
mL
|
0
%
0
%
0
%
0
%
60
%
100
%
|
0
%
0
%
0
%
40
%
80
%
100
%
|
0
%
10
%
20
%
50
%
100
%
100
%
|
0
%
20
%
30
%
70
%
100
%
100
%
|
0
%
40
%
50
%
70
%
100
%
100
%
|
0
%
40
%
60
%
90
%
100
%
100
%
|
4.2. Pembahasan
Dari hasil pengamatan study banding ekstrak umbi gadung yang langsung di
gunakan (tidak disimpan) dengan ekstrak umbi gadung yang disimpan selama 24 jam, terhadap hasil penyemprotan
kecoa sebagai berikut :
-
ekstrak umbi gadung yang
langsung digunakan dengan kadar yang kecil tidak dapat membasmi kecoa
-
ekstrak umbi gadung yang sudah
disimpan selama 24 jam dengan kadar yang kecil (sama dengan yang langsung)
dapat membasmi kecoa lebih cepat.
Berikut ini grafik persentase kecoa yang
mati setelah disemprot dengan ekstrak umbi gadung yang tidak disimpan;
Gambar 4.1. Grafik penyemprotan umbi gadung yang tidak
disimpan terhadap kecoa
Dari grafik tersebut terlihat bahwa dengan volume sedang (300mL)
kecoa sudah ada yang mulai mati. Semakin bertambahn volume ekstrak gadung
semakin bertambah pula persentase kocoa yang mati. Hal ini dikarenakan makin
banyak volume berarti makin banyak pula kadar alkaloidnya sehingga kandungan
racun makin banyak pula
Umbi gadung mentah (sebelum fermentasi) mengandung alkaloid yang
merupakan racun. Semakin tua usia umbi gadung, semakin besar kadar alkaloidnya
sehingga makin baik untuk membasmi kecoa. Selain itu umbi gadung mengandung
alkaloid yang dapat memberikan efek fisiologis tertentu pada makhluk hidup, hal
ini terbukti pada ekstrak umbi gadung tanpa penyimpanan dapat pula mematikan
kecoa walaupun dalam waktu yang lebih lama dan dosis lebih tinggi dibanding
ekstrak umbi gadung yang telah disimpan (terfermentasi). Contoh alkaloid
seperti morfin, kokain, nikotin
merupakan racun pada makhluk hidup jika berlebih, tetapi dapat pula sebagai
obat berbagai penyakit dengan dosis tertentu.
Berikut ini
gambar grafik persentase kecoa yang mati setelah disemprot dengan umbi gadung
yang sudah disimpan 24 jam (fermentasi) :
Gambar 4.1. Grafik penyemprotan umbi gadung yang disimpan
24 jam terhadap kecoa
Dari grafik tersebut terlihat bahwa dengan
ekstrak gadung yang telah disimpan selama 24 jam pada volume rendah ( 100 mL )
kecoa sudah ada yang mati.
Hal itu dikarenakan dalam ekstrak umbi
gadung, selain mengandung alkaloid juga mengandung alcohol. Alcohol tersebut
berasal dari hasil fermentasi umbi gadung.
Perbedaan hasil tersebut disebabkan :
-
ekstrak umbi gadung yang
langsung digunakan belum terjadi fermentasi
-
ekstrak umbi gadung yang sudah
disimpan 24 jam telah terjadi fermentasi.
Umbi gadung yang
mengandung karbohidrat jika disimpan pada tempat tertutup dapat terjadi
fermentasi alcohol dengan reaksi sebagai
berikut :
1.
Gula → asam pirufat (glikolisis)
2.
Dekarboksilasi asam piruvat
Asam piruvat → Asetaldehid
+ CO2
3.
Asetaldehi oleh alcohol
dihidrogenase diubah menjadi alcohol
Ringkasan reaksi sebagai berikut:
C6H12O6 → 2 C2H5OH
+ 2 CO2 + energi
Alkohol yang
dihasilkan ini dapat menyebabkan rasa pusing-pusing bahkan kematian.
Ekstrak umbi gadung yang disimpan (fermentasi) mengandung alkaloid dan alcohol dimana kedua
senyawa ini dapat mematikan serangga, sehingga pada kadar/volum yang sama dapat
membasmi serangga lebih cepat. Vulume umbi gadung berpengaruh terhadap
prosesntase kematian kecoa, dimana semakin besar volume umbi gadung yang
digunakan semakin besar pula prosentase kematian kecoa, hal ini disebabkan
makin besar volume umbi gadung berarti makin besar pula kadar alkaloid dan
alcohol yang digunakan membasmi kecoa. Jadi pada ekstrak umbi gadung yang telah
terfermentasi terdapat dua jenis racun yaitu alkaloid dan alcohol sehingga
lebih cepat membasmi kecoa dibandingkan ekstrak umbi gadung yang belum
terfermentasi.
Insektisida di pasaran mengandung zat-zat berbahaya bagi kesehatan
jika terhirup dan juga dapat mencemari tanah dan udara. Hal ini berbeda dengan
ekstrak umbi gadung yang merupakan
insektisida ramah lingkungan, dimana kandungan zat-zat didalamnya dapat
didegradasi atau diuraikan oleh mikroorganisme dan tidak mencemari atau tidak
merusak alam . Umbi gadung kita peroleh dari alam kembali ke alam. Sebaiknya
pergunakan zat-zat alami agar tidak merusak lingkungan sehingga bumi tetap
sehat dan manusia dapat hidup di alam yang sehat pula.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan dari percobaan ini adalah :
1. Umbi gadung (Dioscorea hispida) mentah mengandung alkaloid yang merupakan racun
2. Umbi gadung (Dioscorea hispida) yang telah difermentasi mengandung alkaloid dan alcohol, dimana kedua
zat ini merupakan racun
3.
Umbi gadung (Dioscorea hispida) dapat digunakan sebagai pembasmi kecoa.
4. Semakin besar volume ekstrak umbi (Dioscorea hispida) gadung yang digunakan semakin besar pula prosentase kematian kecoa.
5. Umbi gadung merupakan pembasmi kecoa yang ramah lingkungan
Saran
1.
Untuk penelitian
selanjutnya dapat dicobakan pada serangga yang berbeda.
2.
Untuk perbaikan penelitian
ini perlu dilakukan variasi yang lain dengan pengamatan yang lebih teliti
seperti variasi jenis umbi gadung, usia umbi gadung dan sebagainya
Daftar
Pustaka
Buckle, KA.
Dkk. 1987. Ilmu
Pangan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Campbell, N.A. J.B. Reece, & L.G.
Mitchell. 2005. Biologi. Edisi ke-5.
Terj. Dari : Biology. 5th ed. Oleh Manalu, W. Penerbit Erlangga.
Jakarta
D.A. Pratiwi,
Dra,dkk.. 2007. Biologi SMA Kelas XI. Penerbit Erlangga.
Dwidjoseputro.
2003. Dasar – dasar Mikrobiologi.
Penerbit Djambatan. Jakarta.
Endang Susilowati. 2009. Theory
and Application of Chemistri 3. Penerbit Tiga Serangkai. Solo
Sudarmo, Unggul. 2006. Jilid 3
Untuk SMA kelas XII. Penerbit Phibeta.
Jakarta.
Volk dan Wheeler.1988. Mikrobiologi Dasar. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Waluyo, L. 2007. Mikrobiologi
Umum. UPT. Penerbit Universitas Muhammadiyyah Malang. Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Selamat Datang Di Blogger Ignasius Fandy Jayanto